KATADATA ? Aturan Bank Indonesia (BI) yang mewajibkan semua transaksi dalam negeri menggunakan mata uang rupiah, dinilai tidak akan mudah diterapkan khususnya untuk para pelaku industri minyak dan gas bumi (migas). Meskipun sudah ada kelonggaran waktu untuk menerapkan aturan itu, pelaku industri menganggap masa transisinya terlalu singkat.

Vice President Corporate Communication HR and Finance Total E&P Indonesie, Arividya Noviyanto mengeluhkan masa waktu transisi kewajiban penggunaan rupiah yang cuma enam bulan. "Masalahnya pada kategori dua, yang diberi waktu cuma sampai enam bulan. Kalau bisa, jangan secepat itu," katanya, di Jakarta, Selasa malam (7/7).

Seperti diketahui, BI memberikan kelonggaran waktu penerapan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/3/PBI/2015 tentang kewajiban penggunaan rupiah untuk seluruh transaksi di dalam negeri per 1 Juli 2015 kepada industri migas. Pertimbangannya, industri migas memiliki sejumlah karakteristik khusus sehingga aturan itu tidak bisa diterapkan sekaligus pada seluruh transaksi.

Atas dasar itulah, BI dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sepakat membuat tiga kategori untuk transaksi rupiah di sektor migas. Pertama, transaksi yang bisa langsung menerapkan aturan PBI, misalnya sewa kantor / rumah / kendaraan, gaji karyawan Indonesia, berbagai support services. Kedua, transaksi ang masih butuh waktu penerapan, misalnya bahan bakar, transaksi  impor melalui agen lokal, kontrak jangka panjang, kontrak multi-currency.

Ketiga, transaksi yang secara fundamental sulit memenuhi aturan itu karena berbagai faktor, antara lain regulasi pemerintah. Misalnya: gaji karyawan ekspatriat, drilling service dan sewa kapal. Masa transisi untuk kategori satu hingga 30 September 2015 dan kategori dua hingga akhir tahun ini. Sedangkan untuk kategori tiga, dikecualikan dari aturan wajib rupiah tersebut.

Arividya melihat aturan wajib rupiah akan menambah ongkos perusahaan migas karena harganya bisa menjadi lebih mahal. "Barang yang impor itu kalau dikonversikan ke rupiah, otomatis si vendor menaikkan harga karena dia melakukan hedging sendiri,? katanya. Persoalan seperti itu sedang dievaluasi oleh SKK Migas.

Saat ini, transaksi Total E&P yang menggunakan mata uang rupiah masih di bawah 20 persen. Artinya, 80 persen masih memakai valuta asing. "Dengan aturan BI, persentase (rupiah)  bisa naik. Pokoknya, komponen yang benar- benar diproduksi di dalam negeri harusnya bisa dirupiahkan," tandas Arividya. 

Wakil Kepala SKK Migas M.I. Zikrullah mengatakan perusahaan migas tidak bisa dengan segera menerapakan aturan wajib rupiah. Kewajiban penggunaan rupiah akan menyebabkan perencanaan bisnis menjadi kacau. Persoalannya, selama ini perusahaan telah membuat perencanaan dalam dolar Amerika Serikat (AS). Ini disesuaikan dengan kebutuhan investasi dan penjualan hasil migas.

Jika diwajibkan menggunakan rupiah, artinya perusahaan mesti menyusun kembali rencana bisnisnya. ini tidaklah mudah, karena nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sangat berfluktuatif. Selain menimbulkan ketidakpastian, kewajiban penggunaan rupiah juga  mempengaruhi penerimaan industri migas. ?Kalau di-hedging segala macam ada cost-nya,? ujar dia.

Reporter: Arnold Sirait