KATADATA ? Pelaku usaha di industri minyak dan gas bumi (migas) Tanah Air mengeluhkan proses perizinan yang masih rumit. Lamanya perizinan membuat ongkos yang dikeluarkan dalam kegiatan produksi migas menjadi mahal.
Semakin tinggi biaya yang dikeluarkan perusahaan, maka penggantian biaya produksi yang dikeluarkan pemerintah pun atau cost recovery menjadi tinggi. Ini pula yang sampai sekarang dikeluhkan sejumlah kalangan, karena biaya yang dikeluarkan dinilai tidak sebanding dengan produksi yang dihasilkan.
Direktur Indonesia Petroleum Association (IPA) Marjolijn E. Wajong mencontohkan, waktu yang dibutuhkan dari pengajuan izin sampai produksi berkisar antara 10 tahun hingga 15 tahun. Ini tidak sebanding, karena jangka waktu kontrak yang diberikan kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) hanya 30 tahun.
Ini artinya, perusahaan migas hanya memiliki waktu sekitar 15 tahun sampai 20 tahun untuk memperoleh pendapatan dari kegiatan produksi. ?Artinya secara keekonomian tidak menarik,? kata Wajong yang juga President & GM Santos Ltd, perusahaan migas asal Australia, dalam forum diskusi industri migas di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Kamis (23/4).
Beban produksi semakin tinggi lantaran banyak pungutan liar karena tidak ada dasar hukumnya. Hal ini, kata Wajong, pasti akan merugikan Indonesia, karena iklim investasi dinilai tidak lagi menarik. Investor pun dapat memindahkan investasinya ke negara lain.
Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Gde Pradnyana mengakui jika perizinan di sektor migas selama ini masih rumit. Di sektor hulu saja, setiap perusahaan membutuhkan 341 perizinan dengan 600.000 lembar dokumen persyaratan yang mesti dipenuhi dari 17 instansi.
Rumitnya perizinan, tentu akan menghambat kegiatan eksplorasi dan penemuan cadangan migas baru. Padahal sisa cadangan minyak terbukti Indonesia hanya 3,7 miliar barel dan akan habis dalam 11 tahun ke depan dengan laju produksi konstan sekitar 800 ribu barel per hari (bph).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebetulnya tidak diam saja melihat kondisi ini. Kementerian pun berencana membentuk tim eksplorasi, yang menurut Kepala Sub Direktorat Pengawasan Eksploitasi Migas Kementerian ESDM Patuan Alfon, akan diisi para pemangku kepentingan di industri migas.
Pemerintah pun juga berencana akan menyerahkan proses perizinan kegiatan hulu melalui sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). ?Jika berkaitan dengan institusi lain seperti rekomendasi ekspor akan masuk PTSP,? ujar dia.
Saat ini, yang sudah masuk PTSP terkait izin pinjam pakai kawasan hutan dan izin lingkungan untuk usaha hulu migas. Persoalan ini merupakan salah satu yang dikeluhkan pengusaha migas karena banyak wilayah kerja yang terletak di area hutan yang terlarang untuk kegiatan ekonomi.