Tambang Emas yang Ancam Kehidupan Burung Endemis di Kepulauan Sangihe

ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/foc.
Ilustrasi kerusakan lingkungan akibat penambangan emas.
Penulis: Sorta Tobing
11/6/2021, 13.12 WIB

Kematian Wakil Bupati Kepulauan Sangihe Helmud Hontong ramai menjadi perbincaan di media sosial kemarin. Ia meninggal saat melakukan perjalanan pulang dari Bali menuju Manado via Makassar pada Rabu lalu (9/6) dengan pesawat Lion Air JT-740.

Beberapa saat setelah pesawat lepas landas pada pukul 15.08 WITA, Helmud membutuhkan pertolongan medis. Ia disebut mengalami batuk dan mengeluarkan darah keluar dari mulut dan hidungnya. 

Awak Lion Air lalu memberikan penanganan pertama dengan membersihkan wajahnya, menyandarkan kursi, dan memasangkan masker oksigen. Namun, usai transit di Bandar Udara Internasional Hasanuddin pukul 16.17 WITA, Helmud dinyatakan meninggal dunia.

Sebelum meninggal, Helmud sempat mengirim surat permohonan pembatalan izin operasi pertambangan emas di wilayah Sulawesi Utara tersebut. Pria yang akrab disapa Embo ini memang berada di pihak yang kontra dengan rencana tersebut. 

Kepada Sinar Harapan pada April lalu, ia menolak usaha pertambangan emas yang dikelola PT Tambang Mas Sangihe (TMS). Helmud khawatir kehadiran kegiatan usaha tersebut akan merusak lingkungan. “Apa pun alasannya, saya berdiri bersama rakyat. Karena rakyat memilih saya menjadi wakil bupati,” ujarnya. 

Ketika itu ia berencana mengirimkan surat ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menyatakan penolakannya. Operasi tambang seluas 42 ribu hektare itu telah mendapat izin Kementerian ESDM bernomor 163/K/MB.04/DJB/2021 tanggal 29 Januari 2021. 

Izin ini, menurut Helmud, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Luas wilayah Sangihe sekitar 737 kilometer persegi atau 737 ribu hektare sehingga masuk kategori pulau kecil.

Dengan kategori tersebut, maka Pulau Sangihe tidak boleh ada kegiatan pertambangan. Dalam pasal 23 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 2014 tertulis pemanfaatan Pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha dan industri perikanan secara lestari, pertanian organik, peternakan, dan/atau pertahanan dan keamanan negara. 

Ilustrasi penambangan  emas (ANTARA FOTO/Fiqman Sunandar)
 

Ada Apa dengan Tambang Emas di Kepulauan Sangihe?

Dilansir dari laporan BBC Indonesia, perusahaan Tambang Mas Sangihe telah mengantongi izin kelayakan lingkungan dari Provinsi Sulawesi Utara pada 25 September 2020 lalu. Kemudian, izin produksi dari Kementerian ESDM terbit pada awal 2021 ini.

Area izin usaha TMS mencakup 42 ribu hektare atau hampir setengah wilayah Kepulaun Sangihe. Perusahaan TMS akan mengeksploitasi emas di lahan 65,48 hektar dari total wilayah kontrak. Kendati begitu, eksplorasi potensi emas di titik lain juga akan berlangsung.

Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), TMS adalah gabungan dari perusahaan Kanada, Sangihe Gold Corporation, pemegang saham mayoritas sebesar 70%, dan tiga perusahaan Indonesia.

TMS akan mengeksploitasi emas dan tembaga Kepulauan Sangihe selama 33 tahun ke depan. Wilayah yang dieksploitasi meliputi enam kecamatan yang terbagi menjadi 80 kampung.

Tertulis pada laman resmi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), lokasi tambang perusahaan TMS di Kepulauan Sangihe menyimpan sumber daya yang melimpah. Jumlahnya 3,16 juta ton dengan kadar emas 1,13 gram per ton dan perak 19,4 gram per ton.

Ilustrasi lingkungan hutan. (ARIEF KAMALUDIN | KATADATA)

Keberadaan Tambang Emas Ancam Burung Endemis Sangihe

Para pegiat lingkungan juga khawatir kehadiran pertambangan emas bakal merusak burung endemis di Pulau Sangihe. Satu burung yang terkenal adalah Manu’Niu atau Seriwang Sangihe.

Burung ini sempat dianggap punah selama seratus Tahun. Baru sekitar dua dekade lalu, kehadirannya terlihat kembali. Burung berukuran sekitar 18 sentimeter ini populasinya semakin kritis. 

Berdasarkan laman Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia atau Burung Indonesia, eksploitasi yang dilakukan Tambang Mas Sangihe tak hanya mengancam Sariwang Sangihe. Sembilan jenis burung endemis lain yang hidup di wilayah hutan lindung Gunung Sahendaruman, Kepulauan Sangihe, juga rawan punah.

Sembilan jenis burung endemis yang terancam antara lain: Anis-Bentet Sangihe, Udang Merah Sangihe, Kacamata Sangihe, dan Brinjji Emas Sangihe dalam kondisi kritis. Serta, Paok Merah Sangihe, Serindit Sangihe, Madu Sangihe, Celepuk Sangihe dan Raja Udang Sangihe dalam kondisi rentan.

Nasib Burung Endemis dan Lingkungan Alam Kepulauan Sangihe

Dilansir laman Burung Indonesia, Kepulauan Sangihe ditetapkan sebagai Endemic Bird Area (EBA). Di sana terdapat salah satu dari 33 Important Bird and Biodiversity Area (IBA) di Sulawesi, dan Key Biodiversity Area (KBA).

Setidaknya, ada 87 jenis burung hidup dan berkembang di Kepulauan Sangihe. Sebanyak 32 jenis di antaranya adalah burung migran. Sembilan di antaranya adalah burung endemik dengan tingkat ancaman kepunahan yang tinggi secara global.

Salah satu tempat beristirahat bagi para burung tersebut adalah Hutan Lindung Gunung Sahendaruman. Gunung Sahendaruman jadi salah satu area yang masuk dalam wilayah tambang perusahaan TMS.

Perubahan habitat dan alih fungsi lahan jadi ancaman serius bagi burung endemis Kepulauan Sangihe. Pembukaan dan pengelolaan lahan yang masif dan tidak berkelanjutan menyisakan sedikit hutan primer di Pulau Sangihe. Kini hanya tersisa 1.821 hektar atau 2,5% saja dari seluruh luas daratan Pulau Sangihe.

Hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh Burung Indonesia pada 2018, hutan alam yang tersisa hanya di puncak dan tebing Hutan Lindung Gunung Sahendaruman II.

Ilustrasi lingkungan hutan.  (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/wsj.)

Bagaimana Nasib Warga Kepulauan Sangihe?

Sangihe merupakan kepulauan yang terdiri atas pulau-pulau kecil. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe mencatat luas wilayah Kepulauan Sangihe hanya 736,98 km persegi. Wilayah tersebut terdiri dari 15 Kecamatan, 22 Kelurahan dan 145 Kampung.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kepulauan Sangihe, pada 2020 tercatat jumlah penduduk Kepulauan Sangihe adalah 139.262 jiwa.

Dilansir Mongabay, masyarakat tak pernah tahu dan tak terlibat dalam proses izin lingkungan perusahaan TMS. Apalagi sampai memberi izin selama 33 tahun, hingga 2052.

Masyarakat khawatir dengan perusahaan yang akan mengeruk emas dari tanah mereka. Ditambah lagi karena wilayahnya berada di area patahan gempa. Rencana TMS juga dinilai mengancam gunung yang menyimpan lebih dari 70 sumber air bersih.

Realita ini mendorong Koalisi Save Sangihe Island protes ke pemerintah daerah maupun pusat. Mereka sempat datang ke Kantor Staf Presiden menemui Menteri ESDM.

Guna menyampaikan protes atas kehadiran tambang emas di Pulau Sangihe. Dua bulan yang lalu, koalisi ini juga mengusung petisi penolakan tambang emas melalui platform Change.org. “Pulau Sangihe Indah, Kami Tolak Tambang!” Begitu judul petisi tersebut. Hingga 10 Juni 2021, petisi ini sudah ditanda tangani oleh lebih dari 43 ribu dari target 50 ribu orang.

Penyumbang bahan: Alfida Febrianna (magang)