Diprioritaskan untuk Domestik, Ekspor Gas Turun Signifikan Sejak 2010

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi pekerja memantau jaringan gas (jargas) di Offtake Kalisogo, Jawa Timur (1 7/10/2019).
24/8/2021, 14.50 WIB

Volume ekspor gas terus menurun dalam satu dekade terakhir. Hal ini seiring dengan kebijakan pemerintah yang memprioritaskan pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan domestik.

Berdasarkan data Dewan Energi Nasional (DEN), ekspor gas pada 2010 tercatat sebesar 4.336,0 miliar British thermal unit per hari (BBTUD), turun menjadi 4.078,0 BBTUD pada 2011. Kemudian 3.631,0 BBTUD pada 2021, hingga menjadi 2.108,2 BBTUD pada 2020 dengan alokasi untuk kebutuhan domestik mencapai 63,02%.

Sekretaris Jenderal DEN Djoko Siswanto mengatakan bahwa pemerintah sengaja menurunkan volume gas yang dialokasikan untuk ekspor. Kebijakan ini diambil supaya pemerintah dapat memenuhi kebutuhan gas di dalam negeri terlebih dahulu.

"Sehingga ada multiplier effect (efek pengganda) penciptaan nilai tambah dalam negeri dan penyerapan tenaga kerja. Serapan gas bumi memang mengalami penurunan sejak terjadinya pandemi Covid-19," ujarnya dalam diskusi secara virtual, Selasa (24/8).

Di samping itu, penerimaan negara dari sektor migas juga hanya berkontribusi 5%. Untuk itu, menurut Djoko telah terjadi perubahan paradigma bahwa sektor migas diutamakan untuk pembangunan ekonomi.

"Pada 2036 kita sudah akan hentikan ekspor gas. Kita manfaatkan dalam negeri, tahun 2036 transisi energi akan gunakan gas bumi," ujarnya.

Sekretaris SKK Migas, Taslim Z. Yunus menyampaikan bahwa sejak 2012, rata rata pertumbuhan pemanfaatan gas bumi oleh pembeli domestik hanya 1% per tahun. Ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 4-5% per tahun.

Oleh sebab itu, dia pun berharap agar pembeli gas domestik dapat ditingkatkan lagi, mengingat ada wacana untuk melarang ekspor gas. SKK migas pun mendukung pemanfaatan gas bumi untuk menciptakan efek pengganda.

Menurutnya, hal ini sesuai dengan 10 pilar strategi dan 22 program untuk mendukung tercapainya long term plan yang salah satunya adalah target produksi gas 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) di 2030.

"Kita sudah punya long term plan untuk mencapai produksi 1 juta barel minyak per hari dan 12 BSFCD gas. Jadi untuk meningkatkan produksi gas dari sekarang 5,8 BSCFD menjadi 12 BSCFD merupakan tantangan yang besar," katanya.

Menurut Taslim interkoneksi infrastruktur adalah hal utama dalam mendukung pemanfaatan gas bumi. Kebutuhan gas yang besar dapat diciptakan melalui pembangunan pabrik petrokimia baru, dan juga untuk proyek RDMP.

Interkoneksi infrastruktur akan diperlukan untuk menunjang pengembangan pasar gas. Apalagi harga gas bumi Indonesia bahkan tanpa penyesuaian harga gas pada fasilitas pembeli menurut dia masih kompetitif dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara dan India.
Reporter: Verda Nano Setiawan