Dewan Energi Nasional (DEN) mengungkapkan ada beberapa alasan yang membuat investasi hulu migas di tanah air lesu. Salah satunya yakni terkait pembagian bagi hasil produksi (split) untuk kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
Anggota DEN Satya Widya Yudha menyadari iklim investasi migas nasional saat ini masih kurang menarik bagi para investor karena bagi hasil produksi migas RI untuk KKKS cenderung lebih kecil dibandingkan dengan negara tetangga.
"Kalau di Indonesia minyak itu kira kira 15% hingga 25%, dan untuk gas 20% hingga 40%. Malaysia cukup tinggi sampai 80%," kata dia dalam webinar Perkembangan Kondisi Lingkungan Politik-Ekonomi Industri Hulu Migas Nasional, Selasa (14/9).
Begitu juga dengan aturan tentang komitmen bonus tanda tangan (signature bonus) untuk pengelolaan blok migas, yang diwajibkan minimal sebesar US$ 1 juta. Sedangkan Malaysia, Timor Leste, dan Australia tidak mewajibkan adanya bonus tanda tangan. Sementara di Thailand dan Vietnam bonus tanda tangan bersifat negosiasi.
Selain itu, aturan mengenai participating interest (PI) 10%, yakni besaran maksimal 10% pada KKKS yang wajib ditawarkan oleh kontraktor pada BUMD atau BUMN, juga kurang menarik. "Apalagi dalam praktiknya, PI 10% ini kerap kali ditalangi oleh investor dulu. Di negara lain lebih kecil dan tidak ditalangi, kecuali di Timor Leste," ujarnya.
Dengan demikian, untuk menggairahkan iklim investasi hulu migas tanah air, maka diperlukan perubahan kebijakan dan regulasi. Terutama terkait fiskal diantaranya seperti pemberian insentif yang fleksibel serta penyesuaian split, assume & discharge, ring fencing, Komitmen Kerja Pasti, bonus tanda tangan dan fasilitas pajak tidak langsung.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mencatat setidaknya ada tiga masalah utama di industri hulu migas, yakni ketidakpastian hukum, ketidakpastian fiskal, dan proses birokrasi perizinan yang tidak sederhana dan begitu rumit.
"Tiga hal ini sebelumnya hampir setiap tahun penyelenggaran IPA Convex menjadi tema dan disampaikan tetapi sampai hari ini kalau berbicara mengenai kepastian hukum. Tadi uu migas sudah sejak 2008 tapi sampai hari ini belum jelas," katanya.
Komitmen Menteri ESDM Perbaiki Iklim Investasi Hulu Migas
Pemerintah, melalui Kementerian ESDM, terus berupaya untuk memperbaiki iklim investasi migas di Indonesia. Beberapa diantaranya yakni seperti menyiapkan insentif bagi kontraktor kontrak migas eksisting dan kontrak baru hasil lelang.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan untuk kontrak eksisting pemerintah telah menyediakan bagi hasil (split) yang agresif. Khususnya untuk KKKS yang memiliki kontrak kerja sama cost recovery. Salah satu KKKS yang mendapatkan persetujuan split agresif yakni PT Pertamina Hulu Mahakam.
"Berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 27 tahun 2017 split yang agresif ini telah diberikan kepada Pertamina Hulu Mahakam," ujarnya dalam acara IPA Convex 2021, Rabu (1/9).
Sebagai informasi Peraturan Pemerintah (PP) No 27 tahun 2017 mengatur tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 Tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakukan Pajak Penghasilan Di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Sementara, untuk kontrak baru, kemudahan yang diberikan yakni fleksibilitas untuk memilih jenis kontrak migas baik gross split maupun cost recovery. Kemudian bagi hasil yang lebih agresif, tidak adanya besaran minimum bonus tanda tangan, harga DMO penuh untuk minyak, dan pengurangan first tranche petroleum (FTP).
"Bagaimanapun kami mengerti kepentingan untuk mengembangkan cadangan migas sesegera mungkin karena dalam 30 tahun transisi energi akan tiba dan bahan bakar fosil secara signifikan phase out," ujarnya.