Harga Batu Bara Naik Tiga Hari Berturut, Kembali Tembus US$ 200/Ton

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/nym.
Sebuah kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (29/11/2022).
Penulis: Happy Fajrian
24/2/2023, 10.57 WIB

Harga batu bara ICE Newcastle, Australia, naik tiga hari berturut-turut setelah sempat terpuruk ke level terendahnya sejak Maret 2022 di level US4 179,5 per ton. Harga batu bara yang menjadi salah satu acuan dunia ini kini kembali menembus level US$ 200 per ton pada Kamis (23/2).

Mengutip barchart.com, harga batu bara untuk kontrak pengiriman Maret 2023 ditutup di level US$ 201,85 per ton, naik US$ 22,35 atau 12,45% dalam tiga hari perdagangan atau dari US$ 179,5 pada Senin (20/2). Meski bangkit, secara year to date (ytd) harga telah terkoreksi 40,55% dari US$ 339,55.

Sementara harga untuk pengiriman Februari 2023 berada pada level US$ 210,1 per ton, naik US$ 4,45 dari level US$ 205,65 pada Senin. Sepanjang tahun ini harga sudah terkoreksi 42,12% dari US$ 363 per ton.

Merosotnya harga batu bara sepanjang tahun ini karena tanda-tanda permintaan yang lesu mengimbangi kekhawatiran tentang gangguan pasokan dari eksportir utama Australia. Cuaca hangat, terutama di Amerika Serikat (AS) dan Eropa, dan harga gas alam yang lebih rendah menurunkan penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik.

Mengutip data analis komoditas energi global, Kpler, impor batubara Eropa pada bulan Januari cenderung turun hampir 30% dari tahun sebelumnya dan 23% dari bulan Desember. Pada saat yang sama, ketidakpastian tentang pembukaan kembali Cina juga mengaburkan prospek jangka pendek untuk komoditas tersebut.

Di sisi pasokan, yang mendukung harga, pengiriman batu bara dari Australia, eksportir terbesar kedua dunia, terganggu oleh hujan lebat di negara bagian pertambangan batu bara Queensland dan New South Wales, serta penutupan tambang batu bara utama pasca jalur tabrakan kereta api.

Sementara itu bangkitnya harga batu bara dalam tiga hari terakhir salah satunya didorong oleh kecelakaan di tambang batu bara di Inner Mongolia, Cina, yang menyebabkan 2 orang meninggal dan 53 lainnya belum ditemukan. Tambang ini memiliki kapasitas produksi 900.000 ton per tahun.

Kecelakaan membuat pemerintah Cina melakukan inspeksi keselamatan pada tambang batu bara, terutama pada tambang terbuka di sejumlah daerah seperti Inner Mongolia, Shanxi dan Shaanxi.

“Kita harus menindak keras semua jenis pelanggaran hukum dan peraturan, memberi mereka hukuman atau menutupnya untuk memperbaiki masalah,” kata pemerintah Dongsheng di Inner Mongolia dalam sebuah pernyataan yang dikutip Reuters.

Pemerintah Cina telah mendesak tambang batu bara untuk meningkatkan produksi sejak akhir 2021 guna meningkatkan pasokan dan meredam lonjakan harga energi.

Diperkirakan sekitar 260 juta ton kapasitas penambangan batu bara baru telah disetujui sepanjang 2022 dan membuka kembali lusinan tambang kapur barus, meningkatkan total kapasitas menjadi 5,05 miliar ton.

Penyebab pasti kecelakaan pada hari Rabu tidak jelas. Televisi nasional Cina, CCTV, melaporkan pada bahwa tambang yang runtuh di Inner Mongolia pada awalnya adalah tambang bawah tanah yang ditutup dan kemudian dibuka kembali pada tahun 2021 sebagai tambang terbuka.

Tambang batu bara Cina termasuk yang paling mematikan di dunia, sebagian besar karena standar keselamatan yang buruk dan masalah produksi yang berlebihan. Pelaku pasar memperkirakan serangkaian pemeriksaan keamanan yang ketat akan dilakukan di Cina selama beberapa minggu mendatang.

"Kecelakaan itu akan memicu inspeksi keselamatan skala besar di seluruh negeri dan untuk beberapa memperluas mengurangi pasokan batu bara jangka pendek,” kata analis dari Guojin Futures dalam sebuah catatan.

Namun karena batu bara sangat penting untuk keamanan energi dan aktivitas ekonomi, mereka mengatakan pasokan tidak akan berkurang tajam.