Kementerian ESDM memproyeksikan ada 19,9 juta ton atau hampir 20 juta ton bijih bauksit yang terdampak kebijakan larangan ekspor pada Juni mendatang. Angka ini berasal dari selisih hitungan produksi bijih bauksit dengan serapan domestik.

ESDM menghitung produksi bijih bauksit oleh 50 perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) pada tahun lalu yang mencapai 27,7 juta ton. Sementara serapan domestik hanya sanggup menyerap 7,8 juta ton.

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara (Minerba), Irwandy Arif, mengatakan serapan bijih bauksit di dalam negeri akan terus stagnan apabila tidak ada perluasan atau pembangunan baru pada pabrik pemurnian.

Besaran 7,8 juta ton bijih bauksit sejauh ini diserap oleh tiga pabrik pemurnian alumina, yakni PT Indonesia Chemical Alumina, PT Bintan Alumina Indonesia dan PT Well Harvest Winning Alumina Refinery yang belakangan juga melakukan ekspansi pabrik pemurnian.

Adapun kapasitas serapan domestik pemurnian 7,8 juta ton bijih bauksit mampu menghasilkan 3,9 juta ton alumina secara tahunan. "Sementara delapan pabrik pemurnian sedang proses," kata Irwandy saat menjadi pembicara di agenda Mining for Journalist di Cisarua, Bogor pada Sabtu (25/2).

Di sisi produk hilir, baru ada satu pabrik pengolahan atau smelter milik PT Inalum yang mampu mengolah 500 ribu ton alumina menjadi 250 ribu ton alumunium batangan per tahun. Artinya, dibutuhkan delapan kali lipat kapasitas input smelter PT Inalum agar bisa menyerap 3,9 juta ton alumina.

Minimnya produksi aluminium domestik berimbas pada defisit konsumsi di dalam negeri yang menyentuh satu juta ton per tahun. Untuk menutup selisih tersebut, pemerintah secara berkala mengimpor aluminium sebesar 750 ribu ton per tahun.

"Artinya kita perlu melipatgandakan industri pemurnian dan industri smelter alumunium untuk menenuhi konsumsi domestik," kata Sub Koordinator Penyiapan Program Mineral Kementerian ESDM, Dedi Supriyanto pada forum yang sama.

Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) menilai kebijakan larangan eskpor bauksit mentah pada pertengahan tahun depan, perlu diimbangi dengan pengadaan pabrik pengolahan mineral atau smelter. Jika tidak, kondisi ini menimbulkan kekhawatiran pasokan bijih bauksit menjadi mubazir, karena tak bisa diolah.

Pelaksana Harian Ketua Umum APB3I, Ronald Sulistyanto, mengatakan fasilitas pemurnian smelter di dalam negeri belum cukup untuk mengolah seluruh produksi bijih bauksit yang ada.

Menurut catatan APB31, ada 28 perusahaan yang aktif dalam kegiatan penambangan bijih bauksit dengan capaian produksi rata-rata 2 juta ton per tahun atau rata-rata menyentuh angka 56 juta ton.

Menurut Ronald, bakal ada 40 juta ton bijih bauksit yang tak bisa terserap jika pemerintah melarang ekspor. Angka ini muncul dari hitung-hitungan APB3I berdasarkan kemampuan dua Smelter Grade Alumina (SGA), dan satu Smelter dengan keluaran Chemical Grade Alumina (CGA).

Dua Smelter SGA sanggup mengolah bijih bauksit sebanyak 12, 5 juta ton dengan hasil alumina mencapai 4 juta ton per tahun. Sedangkan Smelter CGA mampu menyerap 750 ribu ton bijih bauksit dengan hasil output olahan bauksit sebesar 300 ribu ton per tahun.

"Kendala pada masalah penyerapan. Jika terhambat akan banyak orang yang akan menganggur akibat berhenti produksi," kata Ronald saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Kamis (22/12/2022).

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu