Kementerian Perhubungan menetapkan tarif baru untuk jasa kepelabuhan proses alih muat atau ship to ship transfer (STS) di Pelabuhan Muara Berau, Samarinda mulai 1 Oktober 2023. Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menilai rencana kenaikan tarif berpotensi menghambat ekspor batu bara.
Anggota APBI terdiri dari para produsen batu bara (shipper), perusahaan pemilik floating crane (FC), dan perusahaan bongkar muat (PBM) yang menggunakan pelabuhan alih muat di Muara Berau mengkhawatirkan terganggunya kegiatan usaha yang selama ini berjalan lancar.
Kemenhub telah menetapkan rekomendasi tarif jasa kepelabuhanan kepada PT Pelabuhan Tiga Bersaudara (PTB) yang merupakan Badan Usaha Pelabuhan (BUP) di Pelabuhan Muara Berau Samarinda pada 24 Juli 2023.
Tarif baru ini akan diberlakukan oleh PTB efektif per 1 Oktober 2023. PTB mengelola konsesi yang diberikan oleh pemerintah selama 25 tahun. APBI mencatat proses alih muat batu bara di Pelabuhan Muara Berau mencapai lebih dari 90 juta ton untuk tujuan ekspor dan domestik tiap tahunnya.
Ketua APBI Pandu Sjahrir mengatakan menolak penetapan rekomendasi tarif jasa kepelabuhan oleh Kemenhub karena penetapannya dianggap secara sepihak. Meskipun dalam proses pembahasan (bisnis proses dan tarif) melibatkan Kementerian Perhubungan, Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, PTB dan APBI.
Menurut Pandu, penetapan rekomendasi tarif baru ini maka seluruh kegiatan STS di Pelabuhan Muara Berau akan dimonopoli oleh PTB. "APBI sangat keberatan dengan adanya monopoli dalam bisnis proses di mana bisnis proses yang berjalan saat ini akan berubah sehingga pihak shipper tidak bisa menunjuk langsung pemilik FC atau PBM, namun harus melalui PTB," kata Pandu lewat siarang pers pada Jumat (29/9).
Tarif yang baru tersebut menurut pihak shipper akan menambah beban biaya sekitar US$ 0.82/MT untuk kapal Gearless dan sekitar US$ 0,42/MT untuk kapal Geared and Grabbed. Tarif tersebut akan diterima oleh pihak PTB tanpa melakukan layanan jasa.
Pandu melanjutkan para perusahaan anggota APBI keberatan membayar tarif karena berpegang pada prinsip umum di dunia usaha yaitu “no service no pay”. "Selain itu, dengan penambahan beban biaya tersebut akan berpotensi terhadap penurunan penerimaan negara baik melalui pajak maupun penerimaan negara bukan pajak dari sektor energi dan sumber daya mineral," ujar Pandu.
Sebagian besar pemilik FC hingga saat ini belum melakukan registrasi untuk masuk ke dalam sistem ORBIT yang diaplikasikan oleh PTB yang menjadi prasyarat proses bisnis.
Plt. Kepala KSOP Samarinda menegaskan kepada pemilik FC bahwa tidak akan memberikan pelayanan kepada pemilik FC jika tidak melakukan registrasi ke PTB sesuai suratnya per 26 September 2023.
Pandu menilai, jika kondisi ini berlanjut hingga tarif diberlakukan per 1 Oktober 2023 maka kemungkinan proses alih muat batubara akan terhambat, sehingga ekspor dan maupun pasokan ke PLN dari Pelabuhan Muara Berau akan terganggu.
APBI juga keberatan tidak diakomodir sebagai pihak yang dilibatkan dalam proses konsultasi usulan tarif jasa kepelabuhanan seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 121 Tahun 2018.
"Seharusnya APBI yang beranggotakan lebih dari 90 perusahaan pertambangan batu bara sebagai shipper merupakan salah satu pihak yang sangat berkepentingan dan bahkan akan sangat dirugikan jika ada usulan penetapan tarif tanpa persetujuan dari APBI," kata Pandu.