Harga nikel pada London Metal Exchange (LME) dalam tiga minggu terakhir menunjukkan tren harga yang cenderung menurun. Meskipun di beberapa hari terakhir pada Januari lalu harga sempat menguat.
Namun, pada penutupan perdagangan Rabu (31/1), LME mencatat harga nikel berada di angka US$ 16.269 per ton atau menurun 1,44% dibandingkan harga pada penutupan perdagangan di hari Selasa (30/1) yang sebesar US$ 16.508 per ton.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Rizal Kasli membenarkan bahwa harga nikel saat ini memang sedang mengalami tekanan. Bahkan Rizal menyebut diperkirakan harganya bisa menuju di bawah US$ 15.000 per ton.
“Hal ini disebabkan karena oversupply. Ekonomi dunia belum kembali tumbuh seperti yang diharapkan, terutama pertumbuhan ekonomi dari Cina. Tentu saja ini akan berpengaruh kepada kelangsungan operasional perusahaan,” kata Rizal kepada Katadata.co.id dikutip Kamis (1/2).
Menurut Rizal, dengan tekanan harga dan kondisi ekonomi saat ini, bagi perusahaan nikel yang biaya produksi di atas US$ 15.000 per ton akan sulit untuk bertahan. “Pilihannya adalah penghentian operasi sementara sampai harga kembali di level yang diharapkan,” ujarnya.
Kendati demikian, menurut Rizal hal ini dapat memberi keuntungan bagi Indonesia. “Dapat diuntungkan karena biaya produksi yang relatif lebih rendah dibandingkan negara lain,” kata dia.
Nikel Indonesia Banjiri Dunia
Analis Macquarie, bank investasi yang berbasis di Sydney, Australia, mengatakan bahwa tekanan terhadap harga nikel lantaran pasokan dari Indonesia yang berbiaya rendah membanjiri pasar nikel global.
Hal ini memaksa para pesaingnya untuk menutup tambang-tambang yang tidak menguntungkan dan menimbulkan kepanikan di Washington dan Paris bahwa pergolakan ini akan memberikan kontrol yang lebih besar kepada Cina atas sumber daya strategis tersebut.
Macquarie menilai produksi nikel Indonesia meningkatkan hingga 30% tahun lalu menjadi 1,9 juta ton. Sementara permintaan global nyaris tidak tumbuh.
Dorongan agresif Indonesia telah membantu meningkatkan pangsa pasarnya menjadi 55% pada 2023, naik cukup pesat dari yang awalnya hanya 16% pada tahun sebelumnya. Namun, peningkatan produksi juga berkontribusi pada penurunan harga nikel global sebesar 43% pada tahun lalu.
Para pedagang dan analis khawatir bahwa dominasi Indonesia atas pasokan global hanya akan tumbuh karena rendahnya harga logam memaksa produsen di tempat lain untuk menutup tambang-tambang yang tidak layak dan mengerem pengembangan baru.
"Jika kita melihat banyak proyek non-Indonesia yang berhenti, maka pangsa Indonesia akan semakin meningkat," kata seorang analis pasar nikel kawakan di Macquarie Jim Lennon, dikutip dari FT pada Kamis (1/2).
Menurutnya, saat ini tidak ada alternatif lain karena tidak ada sumber besar yang sedang dikembangkan atau disetujui di tempat lain. Para produsen nikel di Australia barat yang merupakan salah satu daerah penghasil nikel terbesar di dunia, mengalami kesulitan pada Januari lalu.
Miliarder Andrew Forrest mengatakan bahwa grupnya, Wyloo Metals, akan menutup tambang nikelnya di sana dan BHP memperingatkan bahwa mereka sedang "mengevaluasi opsi-opsi" di sekitar Nickel West.
Penambang Australia, IGO, mengatakan bahwa mereka mungkin akan menghapus nilai tambang nikel Cosmos yang baru diakuisisinya 18 bulan yang lalu dan First Quantum akan menghentikan penambangan di lokasi Ravensthorpe selama dua tahun.
Potensi penutupan tambang-tambang yang tidak menguntungkan telah memicu peringatan di ibukota-ibukota negara bagian barat akan konsentrasi pasokan yang berlebihan di Indonesia.
Menteri Sumber Daya Australia Madeleine King pada akhir pekan lalu menyerukan agar para pembeli membayar premi untuk nikel yang lebih berkelanjutan untuk menyamakan kedudukan para produsennya dengan Indonesia.