Indonesia berpotensi kehilangan fasilitas keringanan bea masuk dalam bentuk tarif preferensial umum atau GSP yang selama ini diberikan oleh Amerika Serikat. Hal ini seiring dengan langkah Negeri Paman Sam tersebut mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang.
"Sudah hampir pasti kita kehilangan GSP, itu bisa terdampak karena GSP fasilitas untuk negara berkembang," kata Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal kepada katadata.co.id, Senin (24/2).
GSP merupakan program unilateral pemerintah AS berupa pembebasan tarif bea masuk kepada negara-negara berkembang. Dengan dicabutkan status Indonesia sebagai negara berkembang, produk-produk Indonesia yang diekspor ke AS dapat dikenakan tarif progresif.
Ia berharap pemerintah mampu bernegosiasi dengan pemerintah AS untuk mengkaji ulang status tersebut. Namun, pemerintah juga perlu mendorong kerja sama perdagangan dengan negara-negara nontradisional.
"Terlebih lagi AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump sangat proteksionis," ujar dia.
(Baca: AS Tak Lagi Anggap RI Negara Berkembang, Bappenas: Pasti Menguntungkan)
Di sisi lain, ia tidak khawatir Indonesia akan rentan terkena tuduhan subsidi pada produk ekspor. Sebab, perubahan status Indonesia tersebut merupakan kebijakan unilateral dan tak mengubah status Indonesia di WTO.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani menilai, status Indonesia yang naik menjadi negara maju belum akan berdampak pada GSP yang diberikan Negeri Paman Sam tersebut.
"Ini hanya berlaku untuk status Indonesia di WTO. Jadi tidak ada pengaruh ke GSP," ujar dia.
Menurutnya, Countervailing duties (CVD) Law AS merupakan Undang-Undang yang mengatur investigasi/penyelidikan subsidi perdagangan, batas toleransi subsidi yang diperbolehkan, dan lainnya.
AS memiliki kewajiban untuk memberikan special and differential treatment kepada anggota WTO yang mendeklrasikan diri sebagai negara berkembang. Meski begitu, AS diberi kewenangan untuk mendefinisikan sendiri negara mana saja yang dianggap sebagai negara berkembang.
Dengan masuknya Indonesia pada kategori negara maju, ia memperkirakan Indonesia akan rentan terkena tuduhan subsidi dari AS. Sebab, batasan minimum atau de minimis toleransi untuk memberikan subsidi perdagangan untuk Indonesia lebih rendah dari sebelumnya.
"Sehingga Indonesia akan semakin sulit untuk membela diri dan membuktikan bahwa Indonesia tidak mengsubsidi produk tersebut," katanya.
(Baca: Kadin: Jadi Negara Maju, Indonesia Tetap Dapat Fasilitas Bea Masuk AS)
Sebelumnya, AS melalui Kantor Perwakilan Perdagangan atau USTR mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang. Hal ini diketahui berdasarkan informasi yang disampaikan USTR melalui laman resminya pada Senin (10/2).
Hal ini membuat Indonesia tidak bisa menerima perlakuan khusus pada subsidi dan countervailing measures lantaran dianggap sebagai negara yang mampu. Batas minimum nilai barang impor AS dari negara maju yang dibebaskan dari penyelidikan bea masuk anti subsidi berubah sebesar 1%, lebih kecil dari batas de minimis negera berkembang sebesar 2%.
Keputusan tersebut dilihat berdasarkan pendapatan nasional bruto atau GNI suatu negara berdasarkan data Bank Dunia. USTR juga mempertimbangkan porsi perdagangan suatu negara terhadap dunia sesuai data the Trade Data Monitor.
"Untuk tujuan hukum CVD AS, Perwakilan Dagang AS menganggap negara-negara dengan pangsa 0,5 persen atau lebih dari perdagangan dunia sebagai negara maju," kata USTR dalam pemberitahuan federalnya.
USTR juga mengeluarkan sejumlah anggota G20 dari daftar negara berkembang seperti Argentina, Brazil, India, dan Afrika Selatan.
Amerika Serikat saat ini masih menjadi tujuan utama ekspor Indonesia. Ekonomi Negara Paman Sam ini hingga kini merupakan yang terbesar dunia, seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.