Dampak Perang Dagang, Impor Tiongkok November Naik meski Ekspor Anjlok

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi. Tiongkok mencatatkan ekspor pada November turun 1,1%, sedangkan impor naik 0,3%.
Penulis: Agustiyanti
9/12/2019, 07.22 WIB

Ekspor Tiongkok pada November mencatatkan penurunan selama empat bulan berturut-turut, tertekan perang dagang dengan Amerika Serikat. Namun, impor tercatat tumbuh dan memberikan sinyal bahwa stimulus yang digelontorkan Beijing berhasil mendorong permintaan.

Perang dagang selama 17 bulan terakhir telah meningkatkan risiko resesi global dan memicu spekulasi bahwa pemerintah dan bank sentral Tiongkok akan mengeluarkan lebih banyak stimulus guna menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi Negara Tembok Raksasa ini.

Dikutip dari CNBC, data bea cukai Tiongkok mencatat ekspor pada bulan lalu turun 1,1% dibanding periode yang sama tahun lalu. Angka ini memburuk dibanding bulan sebelumnya yang turun 0,9% dan hasil jajak pendapat Reuters dari analis yang memproyeksi kenaikan sebesar 1% pada November.

Impor secara tak terduga justru meningkat 0,3% dibanding periode yang sama tahun lalu, menandai pertumbuhan tahunan pertama sejak April. Angka ini lebih baik dari perkiraan analis yang turun 1,8%.

Data impor yang lebih baik dari perkiraan kemungkinan menunjukkan permintaan domestik yang menguat, menyusul data aktivitas pabrik yang memperlihatkan tanda-tanda peningkatan mengejutkan baru-baru ini. Namun, analis menilai pemulihan kinerja perdagangan sulit untuk dipertahankan di tengah risiko perang dagang.

(Baca: Perang Dagang Makin Luas, IHSG Pekan ini Diprediksi Bervariasi)

Surplus perdagangan Tiongkok untuk November mencapai US$ 38,73 miliar, menciut dibandingkan Oktober US$ 42,81 miliar. Angka ini juga lebih rendah dibanding perkiraan analis sebesar US$ 46,30 miliar.

Beijing dan Washington sedang merundingkan kesepakatan perdagangan tahap pertama yang bertujuan untuk mengurangi sengketa perdagangan tetapi mereka terus bertengkar karena perincian penting.

Sebuah RUU DPR AS yang menargetkan kamp-kamp etnis minoritas Muslim di Xinjiang dan UU mendukung pemrotes anti pemerintah di Hong Kong membuat marah Beijing. Hal ini makin mengaburkan prospek kesepakatan dagang antara kedua negara.

Presiden AS Donald Trump sebelumnya mengguncang pasar global saat mengatakan bahwa kesepakatan dagang dengan Tiongkok kemungkinan harus menunggu hingga Pilpres AS pada November 2020 berakhir.

 (Baca: Trump Sebut Kesepakatan Dagang Berpotensi Tertunda hingga Pilpres AS)

Penasihat ekonomi Top White House Larry Kudlow mengatakan AS tetap akan memberlakukan tarif baru pada 15 Desember kepada produk Tiongkok senilai US$ 156 miliar jika tak tercapai kesepakatan dagang sebelum itu.

Seorang pejabat Tiongkok mengatakan kepada bahwa pihaknya siap menerapkan tarif balasan jika AS memberlakukan tarif baru pada 15 Desember. Ini kian melemahkan peluang kesepakatan perdagangan jangka pendek.

Trump telah menuntut agar Tiongkok berkomitmen untuk pembelian minimum spesifik produk pertanian AS, selain tuntutan terkait hak kekayaan intelektual, mata uang, dan akses ke pasar layanan keuangan China.

Surplus perdagangan China dengan Amerika Serikat untuk November mencapai US$ 24,60 miliar, menurut perhitungan Reuters berdasarkan data bea cukai. Jumlah ini berkurang dari surplus bulan sebelumnya sebesar US$ 26,45 miliar.

Riset Fitch Ratings dan Oxford Economics sebelumnya menunjukkan, eskalasi perang dagang menjadi ancaman nyata bagi pertumbuhan global seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.