Pada Senin siang itu, 19 Oktober 2015, Ramadhan Lutfi Aerli masih asyik bermain bersama teman-temannya. Sekolahnya dipulangkan lebih awal, mestinya pukul 16.00 menjadi pukul 12.00, karena udara makin memutih oleh kabut asap. Lutfi bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1, Kota Pekanbaru, Riau. Umurnya baru 12 tahun.
Lantaran kabut asap tak kunjung menipis, pihak Madrasah kembali meliburkan sekolah keesokan harinya. Pada Selasa siang, badan bocah itu mulai panas. Kondisinya makin buruk dan sempat muntah berkali-kali sebelum dilarikan ke Rumah Sakit Santa Maria selepas tengah malam. Hanya kurang dari tiga jam dirawat di unit gawat darurat, Lutfi menghembuskan napas terakhir.
Kepada ayahnya, Eri Wirya, dokter mengatakan ada penipisan kadar oksigen di jantung Lutfi. Dokter sempat menunjukkan hasil rontgen kepada Eri. “Di hasil rontgen tampak di paru-paru itu kayak berawan,” kata Eri, dikutip Mongabay, beberapa hari setelah pemakaman anaknya. Eri tak tahu persis apa penyebab kematian anaknya sebab Lutfi tak punya riwayat penyakit serius. Dia menduga, kabut asap pekat yang menyelimuti Pekanbaru selama berminggu-minggu ada andil atas sakitnya Lutfi.
Polusi udara berat akibat akibat kebakaran hutan di Indonesia memicu sejumlah penyakit yang bisa berujung pada kematian.
Polusi udara berat akibat akibat kebakaran hutan di Indonesia memicu sejumlah penyakit yang bisa berujung pada kematian. Tim peneliti dari Harvard University dan Columbia University memperkirakan ada 100.300 kasus kematian dini yang dipicu oleh kebakaran hutan di Indonesia pada September-Oktober 2015. Angka itu meningkat dua kali lipat dibandingkan kejadian serupa pada September-Oktober 2006. Hasil riset mereka dipublikasikan di Environmental Research Letter pada 19 September 2016 dengan judul “Public health impacts of the severe haze in Equatorial Asia in September–October 2015: demonstration of a new framework for informing fire management strategies to reduce downwind smoke exposure”.
Tim dari Harvard University dan Columbia University kembali meneliti dampak kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Dalam hasil penelitian mereka yang bertajuk “Fires, Smoke Exposure, and Public Health: An Integrative Framework to Maximize Health Benefits from Peatland Restoration,” disebutkan bahwa jika tren kebakaran hutan di Indonesia terus berlanjut seperti saat ini tanpa ada langkah manajemen kebakaran yang tepat, mereka memprediksi, tingkat kematian dini dapat mencapai angka 36 ribu jiwa per tahun di seluruh wilayah terdampak dari 2020 hingga 2029.
Korban paling besar adalah warga yang tinggal paling dekat dengan lokasi kebakaran. Tim peneliti memperkirakan, dari total angka kematian dini akibat paparan asap, 92 persen terjadi di Indonesia, 7 persen warga Malaysia dan 1 persen warga Singapura. Anak-anak juga jadi korban. Diperkirakan, jika hanya business as usual, tak ada perubahan berarti dalam pengelolaan hutan dan penanganan kebakaran, 1100 anak-anak berumur di bawah 5 tahun meninggal setiap tahun karena infeksi pernafasan.
Dalam jurnal itu tertulis, selama beberapa dekade terakhir kebakaran hutan di Indonesia menjadi penyumbang besar pemanasan global dan penyebab masalah kesehatan masyarakat. Kebakaran besar pada September-Oktober 2015 telah melepas emisi karbon dioksida setara dengan emisi bahan bakar fosil yang dilepaskan oleh Jepang atau India selama setahun. Bencana itu juga membuat lebih dari 69 juta orang menderita karena udara yang tercemar.
Dampak Kesehatan
Dr. Agus Dwi Susanto, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, kepada Tim Riset Katadata menjelaskan, asap dari kebakaran hutan merupakan campuran kompleks yang mengandung gas, partikel, uap air dan bahan organik serta mineral akibat pembakaran yang tidak sempurna. Gas yang dikandung antara lain karbon monoksida, karbon dioksida, nitrogen oksida, ozon, dan sulfur dioksida. Sementara partikel yang timbul akibat kebakaran hutan biasa disebut particular matter (PM). “Ukuran partikel memengaruhi efek kesehatan yang akan timbul,” katanya.
Partikel besar dengan ukuran lebih dari 10 mikron memang tidak sampai paru-paru, tapi dapat menyebabkan iritasi mata, hidung, dan tenggorokan. Sementara partikel kecil dengan ukuran kurang dari 10 mikron dapat mencapai paru-paru dan dapat mendatangkan masalah bagi paru-paru maupun jantung.
Komponen polutan lain yang juga berbahaya adalah karbon monoksida yang tidak berwarna dan berbau tapi bersifat asfiksian dengan kemampuan mengikat hemoglobin 200 kali lebih kuat dibandingkan oksigen. “Kelompok masyarakat yang rentan atau sensitif terhadap kebakaran hutan adalah orang tua, ibu hamil, anak-anak, orang dengan penyakit jantung dan paru sebelumnya seperti asma atau penyakit paru obstruktif kronik,” kata Agus.
Efek dari paparan asap kepada masyarakat yang tersering adalah dampak jangka pendek atau akut. Namun, efek jangka panjang bakal muncul jika terpapar terus-menerus selama bertahun-tahun. Antara lain, penurunan fungsi paru dan peningkatan hiperaktivitas saluran napas. Berdasarkan analisis juga terdapat material karsinogenik pada asap dari kebakaran hutan, salah satunya polisiklik hidrokarbon aromatik (PHA). Paparan karbon monoksida konsentrasi rendah juga memicu efek jangka panjang yang cukup berbahaya seperti sakit kepala, mual, depresi, dan gangguan neurologis.
Paparan karbon monoksida konsentrasi rendah juga memicu efek jangka panjang yang cukup berbahaya seperti sakit kepala, mual, depresi, dan gangguan neurologis.
Berapa banyak korban yang menderita sakit dan meninggal karena terus terpapar asap kebakaran hutan, Agus tak punya data. Namun, dari beberapa penelitian, salah satunya jurnal yang telah dibawakan pada Kongres American Thoraric Society yang berjudul “Respiratory Symptoms and Lung Function Among Residents Exposed to Forest Fire in Riau, Sumatra, Indonesia 2015” menunjukkan masyarakat yang terpapar asap mengalami gejala penyakit pernapasan dan non-pernapasan.
Dari 60 korban bencana asap yang menjadi sampel, di mana 24 persennya laki-laki dan usia sampel antara 15-65 tahun, sebanyak 75 persen mengalami simtom pernapasan seperti batuk dan dispnea (gangguan pernapasan). Bahkan 84 persen penduduk juga mengalami simtom nonpernapasan seperti iritasi mata, bersin-bersin, gatal-gatal, perut tidak nyaman, hingga diare.
Atasi Kebakaran, Tekan Kematian
Menurut World Bank, tidak ada solusi jangka pendek untuk menangani kebakaran hutan dan asap di Indonesia. “Butuh pendekatan baru untuk mengelola hutan dan lahan gambut di Indonesia serta pengelolaan kebakaran yang lebih fokus pada pencegahan. Selain itu, butuh upaya besar untuk menjawab lemahnya pengawasan penggunaan lahan, memperkuat tata kelola pemerintahan dan akuntabilitas – terutama terkait kebijakan, regulasi dan sistem akses lahan,” tulis laporan World Bank.
Indonesia bisa belajar dari pengalaman sejumlah negara yang berhasil memulihkan lahan yang rusak. Seperti rehabilitasi Loess Plateau di China, rehabilitasi Great Rift Valley di Ethiopia, atau Silvopastoral di Kolombia. Indonesia juga bisa mempelajari dari Thailand dan Afrika Selatan pengalaman mereka mengatasi kebakaran. “Jika bisa menghentikan kebakaran, Indonesia dapat mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030,” World Bank menjelaskan.
Tim peneliti Harvard dan Columbia University juga optimistis angka kematian akibat paparan emisi kebakaran hutan sebagian besar dapat dicegah dengan strategi komprehensif untuk mengurangi kebakaran, seperti pemblokiran api di lahan gambut, konsesi industri, maupun hutan lindung. Penanganan kebakaran di lahan gambut memberikan efek positif paling besar. Menghentikan kebakaran di seluruh lahan gambut, akan mengurangi 65 persen emisi akibat kebakaran dan menekan angka kematian dini di Indonesia sebesar 65 persen, 73 persen kematian dini di Malaysia dan 70 persen kematian dini di Singapura.
“Efektivitas berbagai strategi tersebut dalam mengurangi masalah kesehatan tergantung pada lokasi kebakaran relatif terhadap distribusi populasi. Sebagai contoh, menghilangkan semua kebakaran di lahan gambut dapat mencegah lebih dari 24 ribu kematian setiap tahun,” mereka menulis dalam paparan penelitian yang diperoleh Katadata. Seandainya kebakaran di areal perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman untuk bahan baku kertas, dan areal hutan tanaman industri, bisa dihentikan, tim peneliti menghitung, akan mengurangi emisi karbon hingga 39 persen.
Seandainya kebakaran di areal perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman untuk bahan baku kertas, dan areal hutan tanaman industri, bisa dihentikan, tim peneliti menghitung, akan mengurangi emisi karbon hingga 39 persen.
Selain itu, penanganan yang dilakukan pemerintah melalui moratorium dan pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) juga menjadi perhatian dalam kajian ini. “Kami memiliki alat yang dapat digunakan untuk menentukan wilayah-wilayah restorasi gambut yang memiliki dampak paling menguntungkan pada kesehatan masyarakat,” jelas tim peneliti dalam jurnal tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan memblokir api di lokasi restorasi gambut yang menjadi kewenangan BRG akan mengurangi kematian dini orang dewasa sebesar 34 persen di Indonesia, 22 persen di Malaysia, dan 46 persen di Singapura. Alat ini juga menghitung lima lokasi prioritas teratas dari semua situs BRG yang paling menguntungkan bagi kesehatan masyarakat.
Komitmen Restorasi
Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG), Nazir Foead, kepada Tim Riset Katadata menjelaskan, pemulihan lahan gambut di Indonesia menjadi prioritas penting karena dengan 14-20 juta hektare lahan gambut, Indonesia merupakan negara dengan lahan gambut keempat terluas di dunia. Meski lahan gambut hanya tiga persen dari luas daratan di seluruh dunia, namun kemampuannya menyerap karbon sangat besar. Lahan gambut menyimpan 550 gigaton karbon atau setara 30 persen karbon yang tersimpan di tanah dunia. Di Indonesia, lahan gambut menyimpan 57 gigaton atau 20 kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan hutan hujan tropis biasa atau tanah yang bermineral.
Cadangan karbon yang besar, membuat pengeringan atau alih fungsi lahan gambut akan melepas karbon ke udara. Analisis World Resources Institute (WRI), menunjukkan bahwa mengeringkan satu hektare lahan gambut di wilayah tropis akan mengeluarkan rata-rata 55 metrik ton karbon dioksida setiap tahun atau setara dengan membakar lebih dari 6 ribu galon bensin. Dalam keadaan gambut kering, gambut menjadi mudah terbakar dan api dapat menyebar hingga kedalaman empat meter. Walau api di permukaan sudah padam, api yang mengendap di lapisan tanah sangat sulit dipadamkan dan bisa bertahan berbulan-bulan bahkan menjalar ke tempat lain.
Indonesia, kata Nazir, telah menyerahkan Dokumen Komitmen Iklim Nasional kepada UNFCCC dan mengumumkan target pengurangan emisi sebesar 29 persen dan sebesar 41 persen dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Untuk mencapai target tersebut, diperlukan upaya pemulihan lahan gambut atau restorasi gambut. Maka pemerintah membentuk BRG untuk mengkoordinasi restorasi ekosistem gambut di tujuh provinsi, yakni Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Kalsel, dan Papua.
BRG mengidentifikasi areal target restorasi saat ini seluas 2.676.601 hektare, tersebar di 7 provinsi. Nazir berharap, “Ekosistem gambut yang terpulihkan dapat kembali menjadi cadangan air untuk kebutuhan pertanian masyarakat, mengurangi risiko kebakaran dan turut menyumbangkan reduksi emisi gas rumah kaca Indonesia.”
Pelaksanaan restorasi dilakukan sesuai status lahan. Di areal konsesi, misalnya, restorasi dilakukan pemegang konsesi dengan supervisi pemerintah. Untuk areal konservasi, pemangku kawasan konservasi seperti Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Taman Nasional yang melakukan restorasi bekerja sama dengan BRG. Sementara, untuk areal masyarakat dan areal tidak berizin di Areal Penggunaan Lain (APL) atau kawasan hutan dilakukan pemerintah daerah (pemda) atas arahan BRG. Sekitar 67 persen dari areal target restorasi ada di areal konsesi kehutanan dan perkebunan ini.
Di areal konsesi, misalnya, restorasi dilakukan pemegang konsesi dengan supervisi pemerintah. Untuk areal konservasi, pemangku kawasan konservasi seperti Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Taman Nasional yang melakukan restorasi bekerja sama dengan BRG.
Di luar konsesi, restorasi gambut dikerjakan BRG bersama Pemerintah Daerah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta masyarakat. Dari total target yang dikerjakan BRG sekitar 892.248 hektare, hingga 2018 sudah dilakukan pembasahan awal seluas 679.901 hektare. Dengan demikian capaian di luar konsesi sepanjang tahun 2016-2018 sebesar 76 persen.
Nazir mengakui banyak kendala dan tantangan yang dihadapi BRG dalam memulihkan lahan gambut. Salah satunya aspek kelembagaan. Tugas BRG untuk melakukan koordinasi dan fasilitasi menyiratkan BRG bukan lembaga eksekutor. BRG sebagai lembaga nonstruktural (LNS) juga tidak mempunyai unit kerja di daerah, personel terbatas, dan belum menjadi Pengguna Anggaran sendiri. Sementara luasnya areal target restorasi butuh kelembagaan yang lebih kuat dengan dukungan personel memadai dan anggaran yang cukup. Belum lagi soal data dan peta yang kadang kurang akurat dan kurang lengkap. Hal lain yang menjadi kendala adalah perubahan pemanfaatan lahan gambut. Pada beberapa lokasi, berdasarkan verifikasi lapangan, tidak dapat dilakukan kegiatan restorasi karena patut diduga terdapat izin di atasnya.
Kebijakan Setelah Kebakaran Tahun 2015
Hikmah dari terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun 2015, menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Presiden Jokowi dan seluruh jajaran pemerintah membuat langkah koreksi yang signifikan, hasilnya ada dan nyata. “Dalam 4 tahun terakhir, dengan segala tantangan yang sangat tidak mudah, kita mampu menghindari berulangnya kembali bencana kebakaran hutan dan lahan,” kata Siti.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menilai penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah persoalan berlapis. Mulai dari lemahnya regulasi sampai pada oknum masyarakat hingga korporasi yang sengaja membakar atau lalai menjaga lahan mereka. Siti mencontohkan, ada pemilik konsesi membuka lahan memakai jasa kontraktor dengan menyuruh rakyat membakar hutan. Hal itu memang terjadi dan terus berulang karena banyak faktor. Seperti, penegakan hukum masih lemah, tata kelola lahan kacau, ada korporasi besar tapi tak memiliki peralatan pemadaman, izin yang tidak sesuai peruntukan, dan banyak sekali masalah lain. “Instruksi Presiden Jokowi setelah itu jelas: Perbaiki, benahi, jangan ada kejadian kebakaran hutan dan lahan lagi,” kata Siti.
Penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah persoalan berlapis. Mulai dari lemahnya regulasi sampai pada oknum masyarakat hingga korporasi yang sengaja membakar atau lalai menjaga lahan mereka.
Paradigma menangani kebakaran hutan dan lahan pun berubah total. Dulu, api sudah besar belum tentu ada langkah penanganan dari pemerintah daerah. Pemerintah pusat juga menunggu status dulu, menunggu api besar baru dipadamkan sehingga menyebabkan bencana berulang. Kalau sekarang semua termasuk KLHK mengantisipasi dari hulu hingga ke hilir. “Terjadi perubahan paradigma dari penanggulangan ke pengendalian. Kebijakannya melibatkan banyak stakeholders, termasuk para pemilik izin konsesi. Semuanya berubah total di bawah pengawasan penuh pemerintah,” papar Siti.
Hal paling krusial lainnya, untuk pertama kali dilakukan penegakan hukum multidoors bagi pelaku penyebab kebakaran hutan dan lahan. Yakni dengan langkah hukum pidana, perdata dan administrasi. Langkah hukum ini tidak hanya menyasar perorangan, tapi juga korporasi. Dalam kurun waktu 2015-2018 hampir 550 kasus dibawa ke pengadilan, baik melalui penegakan hukum pidana maupun perdata. Sebanyak 500 perusahaan dikenakan sanksi administratif terkait pelanggaran yang dilakukan, bahkan ada yang dicabut izinnya. ***