Pertengahan Mei, Aturan Diskriminasi Sawit dari Uni Eropa Berlaku

ANTARA FOTO/Budi Candra Setya
Ilustrasi petani kelapa sawit.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Sorta Tobing
13/4/2019, 01.00 WIB

Untuk menghindari anjloknya ekspor sawit, pemerintah akan memperluas perjanjian perdagangan bebas (FTA). India, Pakistan, dan Turki bisa menjadi pasar baru ekspor sawit domestic. "Kami dahulukan negara-negara yang banyak menggunakan palm oil," kata Darmin. Afrika juga masuk pertimbangan karena pertumbuhan ekonominya yang bergerak naik.

Uni Eropa Lakukan Diskriminasi

Tindakan Uni Eropa, menurut Darmin, merupakan bentuk diskriminasi terhadap kelapa sawit Indonesia. Aturan itu tidak cermat dalam memilih mana bahan bakar nabati berisiko tinggi. Minyak kedelai dari Amerika Serikat masuk kategori rendah.

Padahal, minyak kedelai memerlukan lahan yang lebih luas dibandingkan kelapa sawit, yaitu 122 juta hektar atau 10 kali lebih banyak luasannya. Perluasan lahan dan deforestasi akibat penggunaan minyak kedelai lebih besar dibandingkan kelapa sawit. "Ini kan artinya tindakan diskriminatif, double standard, dan proteksionis," ujarnya.

(Baca: Di Tengah Isu Diskriminasi Sawit, Ekspor CPO ke Eropa Masih Naik 27 %)

Darmin pun menduga, Uni Eropa menetapkan minyak kedelai sebagai bahan nabati berisiko rendah lantaran adanya ancaman perang dagang antara AS dan UE.

Kampanye hitam mengenai bahaya minyak kelapa sawit telah lama berlangsung Benua Biru. Hal ini menimbulkan persepsi kelapa sawit sebagai produk yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan di mata masyarakat UE. Padahal, kata Darmin, kenyataannya tidak seperti itu.

Halaman:
Reporter: Rizky Alika