Indonesia Diprediksi Kekurangan 18 Juta Tenaga Ahli pada 2030

Arief Kamaludin|KATADATA
Para pengunjung memadati stand yang ada di sebuah pameran bursa kerja di Jakarta, Indonesia.
Penulis: Hari Widowati
3/5/2018, 19.02 WIB

Korn Ferry, firma konsultan organisasi global, merilis studi Global Talent Crunch yang memproyeksikan Indonesia akan kekurangan sekitar 18 juta tenaga ahli pada 2030 akibat perlambatan pertumbuhan tenaga kerja di seluruh sektor industri. Hal ini menyebabkan Indonesia berpotensi kehilangan pendapatan US$ 442,6 miliar.

Managing Director Korn Ferry Hay Group Indonesia Sylvano Damanik mengatakan, kekurangan tenaga kerja level A (highly skilled) akan segera terjadi. Sementara itu, kekurangan tenaga kerja level B (mid skilled) dan level C (low skilled) akan terjadi pada 2025. "Dampak kekurangan tenaga kerja ahli pada sektor layanan finansial dan bisnis pada 2030 berpotensi berujung kepada pendapatan tahunan yang tidak terealisasi sebesar US$ 9,1 miliar; di sektor teknologi, media, dan telekomunikasi US$ 21,8 miliar; serta sektor manufaktur US$ 43 miliar," kata Sylvano, dalam siaran pers, Kamis (3/4). Ketiga sektor tersebut merupakan sektor industri yang dinilai menjadi penggerak utama perekonomian.

Global Talent Crunch merupakan studi yang dilakukan di 20 negara yang memiliki pengaruh besar terhadap perekonomian global, antara lain Amerika Serikat (AS), Tiongkok, India, Indonesia, Australia, Jepang, Singapura, Malaysia, dan Thailand. Kekurangan tenaga kerja ahli dalam jumlah besar menjadi masalah bagi banyak perusahaan dan negara-negara di dunia. Pada 2030, permintaan terhadap tenaga kerja ahli akan melebihi pasokan yang ada sehingga terjadi krisis tenaga kerja ahli sebanyak 85,2 juta orang di seluruh dunia dengan potensi kehilangan pendapatan sebesar US$ 8,45 triliun.

AS menjadi negara di dunia yang paling dirugikan dengan krisis tenaga kerja ahli ini, dengan potensi kerugian sebesar US$ 1,75 triliun. Sektor jasa keuangan di AS berpotensi mengalami kehilangan pendapatan terbesar, yakni US$ 435,69 miliar dengan kekurangan tenaga kerja ahli sebanyak 4,3 juta orang.

(Baca: Kadin: Tak Masalah Pekerja Asing, tapi Punya Kemampuan dan Legal)

Di kawasan Asia Pasifik, jumlah kekurangan tenaga kerja ahli mencapai 12,3 juta orang pada 2020 dan diprediksi meningkat menjadi 47 juta orang pada 2030 dengan potensi kehilangan pendapatan sebesar US$ 4,24 triliun. Tiongkok diperkirakan paling terdampak krisis tenaga kerja ahli dengan potensi kerugian US$ 1,43 triliun atau sepertiga dari total potensi kerugian yang harus ditanggung oleh negara-negara di Asia Pasifik. Kekurangan jumlah tenaga kerja ahli di sektor manufaktur serta media, teknologi, dan telekomunikasi di Tiongkok dan Jepang yang mencapai 3 juta orang juga akan memengaruhi dominasi ekonomi kawasan Asia Pasifik di kancah global.

Dalam studi ini, hanya India yang mendapatkan keuntungan karena memiliki surplus tenaga kerja ahli sebanyak 245,3 juta orang pada 2030. India berhasil mengatasi kebutuhan tenaga kerja ahli karena banyaknya penduduk usia produktif dan program pemerintah yang mendorong keahlian para pekerja.

"Perusahaan harus melakukan mitigasi potensi krisis tenaga kerja ahli mulai dari sekarang untuk melindungi masa depan mereka," kata President Korn Ferry Asia Pasific Michael Distefano. Untungnya, masih ada waktu untuk memitigasi masalah ini. Pemerintah dan perusahaan harus memiliki prioritas di bidang sumber daya manusia dan mengambil langkah-langkah untuk mendidik, melatih, dan meningkatkan kemampuan tenaga kerjanya.

“Masa depan akan bergantung kepada kemitraan yang efektif antara manusia dan teknologi," kata Sylvano. Perusahaan-perusahaan tidak bisa mengabaikan keberadaan tenaga kerja ahli karena penggunaan teknologi canggih, robot, hingga kecerdasan buatan pun tetap membutuhkan operator tenaga kerja ahli.

(Baca juga: Begini Proses Revolusi Industri 4.0 Diterapkan Perusahaan Skala Besar)