Industri bahan baku obat dalam negeri hingga kini belum mampu bersaing dengan bahan baku impor akibat tingginya biaya produksi. Padahal, industri bahan baku obat dalam negeri diharapkan mampu berkontribusi sebesar 30% dari total target pangsa pasar industri farmasi Indonesia pada 2025 yang mencapai Rp 700 triliun.
Wakil Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GP Farmasi) Kendrariadi Suhanda, mengatakan sekitar 90%-95% bahan baku obat saat ini masih diimpor. Keberadaan industri bahan baku obat dalam negeri diharapkan perlahan-lahan mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku impor. Sayangnya, bahan baku obat produksi lokal kurang diminati karena harganya mahal.
"Industri bahan baku obat dalam negeri tidak bisa bersaing dengan bahan baku dari Tiongkok atau India walaupun kualitas produk kita lebih baik tetapi harganya mahal karena biaya produksi tinggi," ujar Kendrariadi.
Salah satu contohnya adalah PT Medifarma Laboratories yang memproduksi amoxycilin yang menjadi bahan baku obat-obatan antibiotik. Meskipun kualitas produknya lebih baik dibandingkan dengan produk impor, amoxycilin tersebut tidak terserap di pasar.
"Kami bisa memproduksi tetapi kami kesulitan menjualnya karena harga tidak bisa bersaing. Kapasitas produksi kami juga kecil, misalnya 100 ton sedangkan Tiongkok dan India bisa mencapai ribuan ton," kata Ketua Harian Pharma Materials Management Club (PMMC) Teddy Iman Soewahjo.
(Baca: Kurangi Impor Bahan Baku, Industri Farmasi Butuh Bioteknologi)
Oleh karena itu, Teddy berharap pemerintah turun tangan untuk menurunkan biaya produksi atau memberikan insentif kepada produsen bahan baku obat lokal. "Harus ada political will dari pemerintah. Misalnya, ekspor bahan baku obat bisa mendapatkan insentif atau impor intermediate untuk bahan baku obat harus lebih murah sehingga Indonesia bisa membuat produk obat dari hulu sampai hilir," ujar Teddy.
Bahan Baku Alternatif
Direktur PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk Irwan Hidayat, mengatakan Indonesia bisa mencari alternatif bahan baku obat yang murah yang berasal dari herbal. "Bahan baku yang alami seperti kunyit ini peluangnya besar dan produsennya belum banyak, ada Sido Muncul, Java Plant, dan Borobudur. Produksi untuk bahan baku jamu saja mencapai 400-500 ton," ujar Irwan.
Menurut Irwan, biaya produksi bahan baku obat yang tinggi bisa ditekan dengan penggunaan bahan baku alami (herbal). Alternatif lainnya adalah membangun pabrik bahan baku obat di kawasan industri atau kawasan ekonomi khusus. "Pemerintah sudah siapkan infrastrukturnya di KEK Kendal, Gresik, dan lain-lain. Perizinannya jauh lebih mudah," kata Irwan.
Kendrariadi mengatakan, GP Farmasi juga berusaha menarik minat investor asing untuk bekerja sama dengan perusahaan lokal membangun pabrik bahan baku obat. Salah satu caranya melalui penyelenggaraan pameran niaga CPhI South East Asia 2018 di JIExpo Kemayoran pada 27-29 Maret 2018. Pameran yang bertujuan untuk mempertemukan para pemain industri farmasi regional maupun global ini diikuti oleh 260 peserta dari 22 negara.
(Baca: Kalbe Farma Bakal Edarkan Produk Biosimilar Tahun Ini)
Event Director PT UBM Pameran Niaga Indonesia Maria Lioe mengatakan, CPhI South East Asia 2018 akan menjadi platform untuk memperluas peluang membangun jejaring bagi pemain industri farmasi lokal maupun multinasional. Penyelenggara memperkirakan pameran ini akan menarik 5.500 pengunjung. Selain produsen bahan baku obat, pameran ini juga akan menampilkan industri biofarmasi, pangan fungsional, dan berbagai produk-produk inovatif.