Daya beli masyarakat disebut-sebut belum sepenuhnya pulih meski kondisi ekonomi membaik. Hal itu tercermin dari lemahnya penjualan ritel sepanjang Ramadan atau Juni lalu. Berdasarkan hasil survei Bank Indonesia (BI) terhadap lebih dari tiga ribu perusahaan di seluruh Indonesia, kegiatan dunia usaha pada triwulan II lalu memang lebih rendah dibandingkan pada periode sama tahun sebelumnya.
Survei BI menunjukkan Saldo Bersih Tertimbang (SBT) kegiatan usaha pada triwulan II lalu tercatat sebesar 17,36 persen, lebih rendah dari periode sama tahun lalu yang sebesar 18,4 persen. Padahal, kegiatan usaha pada periode tersebut sama-sama disokong Ramadan dan Lebaran. (Baca juga: Sri Mulyani Soroti Lemahnya Daya Beli Menyebabkan Inflasi Rendah)
Meski begitu, mayoritas sektor usaha masih mengalami peningkatan kegiatan. Hal itu tampak dari SBT per sektor yang meningkat. Peningkatan yang tertinggi dialami sektor jasa-jasa dari 2,69 persen pada triwulan II tahun lalu menjadi 3,38 persen pada triwulan II tahun ini. Selanjutnya, SBT sektor perdagangan, hotel, dan restoran juga naik cukup tinggi dari 3,69 persen menjadi 4,32 persen.
Di sisi lain, sektor yang mengalami penurunan tajam kegiatan usaha yaitu pertambangan dan penggalian dari 1,69 persen menjadi minus 1,63 persen, lalu diikuti sektor pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan dari 2,38 persen menjadi 1,57 persen.
Seiring dengan turunnya SBT kegiatan usaha, SBT realisasi investasi juga turun dari 10,82 persen pada triwulan II tahun lalu menjadi 10,58 persen pada triwulan II tahun ini. Meski begitu, SBT realisasi penggunaan tenaga kerja justru meningkat dari 2,32 persen menjadi 4,23 persen.
Meski secara tahunan melemah, namun SBT kegiatan usaha pada triwulan II tercatat jauh lebih tinggi dibanding triwulan I tahun ini. Pada triwulan I, SBT kegiatan usaha hanya sebesar 4,8 persen. SBT awal tahun tersebut merupakan yang terendah sejak 2015 lalu.
“Peningkatan tersebut disebabkan, antara lain, oleh faktor musiman (Ramadan dan Lebaran) yang mendorong naiknya permintaan khususnya di pasar domestik,” demikian tertulis dalam laporan hasil survei BI yang dirilis Senin (10/7). Adapun secara triwulanan, lonjakan kegiatan usaha tertinggi terjadi pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta industri pengolahan.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey memprediksi penjualan ritel pada Juni hanya tumbuh 3-4 persen secara tahunan. Hal itu dengan mempertimbangkan lemahnya penjualan ritel pada minggu pertama dan kedua Juni. Ia merinci, penjualan supermarket dan hypermarket masing-masing turun 11,5 persen dan 12,2 persen. Sedangkan minimarket turun 1,3 persen.
Adapun penjualan ritel sepanjang 2017 ini diperkirakan hanya akan tumbuh 5-6 persen, lebih rendah dibanding pertumbuhan tahun lalu yang mencapai 9,2 persen.
Di sisi lain, Kepala Riset Bahana Sekuritas Harry Su mengatakan, kinerja penjualan emiten ritel seperti PT Mitra Adiperkasa (MAPI) masih naik, meski kenaikannya lebih lemah dibanding ekspektasi. Salah satu penyebabnya, daya beli masyarakat yang belum pulih. “Sedikit banyak pasti ada hubungannya dengan daya beli dan kalau kami lihat juga mungkin kenaikan gaji lebih rendah tahun ini dibanding tahun-tahun sebelumnya,” ucapnya.
Ia juga tak menutup kemungkinan penjualan melemah lantaran banyak masyarakat yang berbelanja di situs retail online. “Mungkin saja, tapi perusahaan yang kami cover yang go public sudah punya online, tapi masih kecil,” ucapnya.