Sulitnya memiliki rumah memang menjadi topik pembahasan hangat belakangan ini, seiring kian tingginya harga properti di tengah semakin terbatasnya lahan. Hasil survei tahunan Property Affordability Sentiment Index mengungkapkan, sebanyak 45 persen masyarakat Indonesia tidak siap membeli properti.
Sementara itu, sebanyak 34 persen responden beralasan harga properti saat ini terlalu tinggi sehingga tidak membeli hunian. “Harga memang menjadi salah satu pertimbangan penting bagi konsumen dalam membeli hunian,” kata Country Manager Rumah.com, Wasudewan, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (23/2).
Sekadar informasi, Property Affordability Sentiment Index merupakan survei tahunan yang dilakukan oleh portal properti online, Rumah.com bekerja sama dengan lembaga riset Intuit Research, Singapura. Total responden yang terlibat dalam survei pada bulan November-Desember tahun lalu ini sebanyak 1.030 orang.
(Baca: Lima Kota Bakal Jadi Acuan Perizinan Rumah Murah)
Meski begitu, Wasudewan melihat proyek-proyek perumahan saat ini memiliki daya tarik tinggi karena pemerintah memberi dukungan melalui pembangunan infrastruktur. Contohnya, jalan tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) yang selama 20 tahun mangkrak, serta tol Semarang-Salatiga.
Saat proyek infrastruktur tersebut rampung, harga properti diperkirakan ikut bergerak naik. Ia menyebut kondisi semacam ini harus dipahami para pencari properti. “Sehingga dapat menilai harga hunian dalam jangka panjang pula,” katanya. (Baca: Pemerintah Khawatir Generasi Millenial Tak Bisa Beli Rumah)
Survei tersebut juga mencatat, 46 persen masyarakat menilai pemerintah telah melakukan upaya cukup baik bagi para pencari properti. Persentase tersebut meningkat dari survei pada periode sebelumnya yang hanya 36 persen.
Wasudewan menyebut setidaknya pemerintah telah mengeluarkan empat kebijakan untuk membantu masyarakat memiliki rumah. Pertama, kebijakan kenaikan batasan pembiayaan oleh lembaga keuangan (Loan to Value/LTV) sehingga uang muka kredit perumahan turun.
Kedua, penyederhanaan regulasi bagi pengembang sehingga semakin mudah membangun hunian. Ketiga, program sejuta rumah. Keempat, program pengampunan pajak yang mendorong investasi di sektor properti.
Survei Harga Properti Residensial di Pasar Primer oleh Bank Indonesia selama kuartal IV 2016 yang dirilis Februari 2017 lalu, memperlihatkan adanya lima faktor penghambat pertumbuhan bisnis properti. (Baca: BTN dan Perumnas Siapkan Kredit Rumah Seharga Rp 75 Juta)
Pertama, tingginya suku bunga Kredit Pemilikan Rumah atau KPR (19,91 persen). Kedua, besarnya uang muka rumah (18,39 persen). Ketiga, banyaknya perizinan (16,15 persen). Keempat, pajak (13,76 persen). Kelima, kenaikan harga bangunan (13,54 persen).
Hasil survei tersebut mengindikasikan mayoritas konsumen properti, yaitu 77,22 persen, masih memilih KPR untuk membeli properti residensial. Angka ini meningkat dari 74,77 persen pada kuartal sebelumnya.