Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti membentuk Satuan Tugas (satgas) Ocean Rights. Satgas baru tersebut menggantikan peran Satgas 115 Illegal Fishing yang selama ini melakukan pemberantasan praktik penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia. Namun, peran dan tanggung jawab satgas anyar itu diperluas hingga menangkal praktik penyelundupan di laut.
Berdasarkan analisis evaluasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), 100 persen kapal ikan bekas asing di Indonesia melakukan pelanggaran. Pelanggaran tersebut bukan hanya terkait illegal fishing, tapi juga terlibat penyelundupan barang-barang komoditas (commodity goods) sampai obat-obatan terlarang dan senjata api.
Karena itulah, Susi akan membentuk Satgas Ocean Rights pada akhir tahun ini. Satuan tugas ini melibatkan unsur-unsur dari KKP, TNI beserta Badan Keamanan Laut (Bakamla), Direktorat Bea Cukai, Kejaksaan Agung, dan kepolisian. (Wawancara Susi Pudjiastuti: Banyak Aktivitas Kriminal di Balik Pencurian Ikan)
“Bakamla jadi komponen penting, jadi Deputi Operasi Harian (satgas) dipegang oleh Wakil Kepala Staf Angkatan Laut. Saya jadi chief komandan, deputi dari Bea Cukai dan Bareskrim. Kita sinergi satu atap, arahannya langsung dari Panglima TNI.” kata Susi saat menjadi pembicara dalam seminar nasional mengenai kemaritiman di Jakarta, Kamis (1/12).
Selain illegal fishing, Susi menjelaskan, kapal-kapal asing juga melakukan praktik penyelundupan. Hampir semua barang komoditas di wilayah timur Indonesia, seperti buah-buahan, semen, hingga tripleks, diselundupkan oleh kapal-kapal Cina.
Tak cuma itu, beberapa kapal asal Thailand turut menyelundupkan obat-obatan terlarang dan senjata api ke daerah rawan konflik seperti Aceh dan Poso. Kapal-kapal pelanggar itu dikenakan sanksi administrasi, mulai dari peringatan, pembekuan, sampai pencabutan Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP).
Karena itulah, Susi akan memberikan rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo untuk membentuk satu badan khusus yang menangani semua kasus kriminal di laut, yakni Satgas Ocean Rights. (Baca: Kadin Desak Industrialisasi Perikanan Libatkan Banyak Pihak)
Di sisi lain, Susi memaparkan hasil kebijakan moratorium perizinan kapal-kapal penangkap eks asing selama lebih satu tahun. Ia menemukan keterlibatan banyak pihak, mulai dari pengusaha besar, tokoh politik, pejabat tinggi di KKP, hingga kepolisian, di balik kepemilikan kapal tersebut.
“Saya buat moratorium untuk selidiki kapal-kapal asing. Saya juga panggil agen-agennya di sini. Ada yang pebisnis-pebisnis hebat, tokoh partai politik, pengusaha besar, bahkan ada bekas pejabat tinggi KKP, juga dari kepolisian,” katanya.
Berdasarkan analisis KKP, sebanyak 1.132 kapal ikan eks-asing yang melakukan pelanggaran tersebar di 33 pelabuhan. Namun, kapal-kapal tersebut hanya diiliki 187 perusahaan atau pemilik izin. Yang terbanyak berasal dari Cina, yaitu 374 kapal atau 33 persen. Selain itu, dari Thailand 280 kapal (25 persen), Taiwan 216 kapal (19 persen), Jepang 104 kapal (9 persen), dan Filipina 98 kapal (9% (9 persen).
(Baca: Sri Mulyani - Susi Gagalkan Penyelundupan 400 Ribu Benih Lobster)
Susi mencontohkan, pada Desember 2014, Pemerintah Vietnam pernah minta perlindungan atas 1.928 kapal asal negaranya di Laut Natuna. "Bayangkan, Vietnam negara sekecil itu kapalnya ada 1.928 di Natuna. Kita bisa bayangkan Thailand, Taiwan, dan Tiongkok ada berapa(kapal)," katanya.
Di sisi lain, Susi tidak khawatir tindakan tegasnya terhadap kapal-kapal asing penangkap ikan tersebut akan merusak hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara lain.
“Tiap tahun saya ketemu dengan 70 lebih Kedutaan Besar, lebih mengadakan independence day reception. Mereka minta maaf masih ada kapal mereka yang masuk. Saya bilang, saya juga minta maaf 'I sink them again',” katanya.