Upaya pemerintah meneka harga bahan pangan melalui impor produk daging dan operasi pasar menjelang Hari Raya Idul Fitri, dianggap tidak tepat. Hal itu hanya untuk kepentingan jangka pendek, namun tidak menyelesaikan secara menyeluruh akar permasalahan lonjakan harga pangan saban tahun.
Direktur Riset Core Indonesia Muhammad Faisal mengatakan, ada beberapa faktor pendorong meningkatnya harga pangan. Dari sisi permintaan, memang mengalami kenaikan karena pola konsumsi masyarakat. Namun, hal tersebut tidak diikuti oleh pasokan yang kerap terkendala baik dari sisi jumlah, distribusi, maupun aksi permainan harga oleh para spekulan.
Menurut dia, berbagai persolan tersebut tidak bisa diselesaikan hanya dengan langkah-langkah stabilisasi harga. “Ketidaksesuaian data antarkementerian dan lembaga juga menjadi faktor tidak terselesaikannya masalah ini," ujar Faisal dalam acara diskusi mengenai kondisi bahan pangan di Jakarta, Selasa (14/6).
(Baca: Kadin: Harga Pangan Tinggi Salah Perencanaan Pemerintah)
Di tempat yang sama, Wakil Ketua Umum Aprindo Tutum Rahanta mengatakan, langkah pemerintah mengimpor bahan pangan dan diikuti oleh operasi pasar bukan merupakan solusi mengatasi persoalan menahun tersebut. "Operasi pasar itu tidak mendidik. Ini cara berpolitik negara yang sudah rusak. Setelah selesai, harga di dalam pasar tetap tinggi," ujarnya.
Terkait dengan harga daging sapi misalnya, Tutum mengatakan, seharusnya pemerintah turun langsung melihat kondisi di lapangan.
Praktik pungutan liar, retribusi, dan harga daging yang sudah tinggi dari penjual sapi hidup atau brokernya, membuat harga daging sapi di pasaran menjadi mahal. Karena itu, dia pesimistis target harga daging sapi Rp 80 ribu per kilogram yang dicanangkan Presiden Joko Widodo dapat tercapai.
(Baca: Swasta Dapat Izin Impor Daging Sapi 23 Ribu Ton)
Faisal melihat ada enam langkah solusi yng dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah lonjakan harga pangan yang menahun tersebut. Pertama, pendekatan yang komprehensif. Jadi, perlindungan terhadap komoditas pangan strategis harus menjadi prioritas pemerintah.
Untuk itu, perlu dibuat peraturan pelaksana Undang-Undang No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan. Peraturan pelaksana itu dapat mengakomodsi penetapan barang kebutuhan pokok dan barang penting, pengaturan distribusi barang, dan pengaturan perdagangan antarpulau.
Kedua, memperkuat peran atau kewenangan Bulog. Pemerintah harus memberikan pendanaan yang memadai kepada Bulog karena anggaran Bulog hanya cukup membeli stok 7 persen dari pasokan beras nasional per tahun. Padahal, Bulog minimal membutuhkan cadangan beras 3 juta ton atau 10 persen dari pasokan beras nasional untuk konsumsi.
Kondisi tersebut menyebabkan pengadaan beras Bulog hanya untuk masyarakat miskin. Sedangkan peran Bulog dalam stabilisasi harga masih minim.
Adapun penguatan peran Bulog itu harus terintegrasi dengan kebijakan sektor lain.
Ketiga, intervensi tepat berbasis data yang akurat. Pemerintah perlu membangun basis data yang rinci dan akurat termasuk produksi, konsumsi, stok, dan harga di produsen maupun konsumen.
(Baca: Pemerintah Berdayakan Koperasi untuk Potong Harga Daging Sapi)
Keempat, pembenahan dan pengawasan jalur distribusi. Harus ada kerjasama pemerintah dengan swasta yang membentuk institusi untuk pencegahan penimbunan, dan penegakan hukum bagi pelaku spekulasi dan kartel.
Kelima, membuat dasar hukum yang kuat. Seperti di Malaysia, ada produk hukum yang memuat pengendalian harga dan larangan pengambilan keuntungan berlebih.
Keenam, pembenahan sistem distribusi. Caranya dengan meningkatkan konektivitas fisik antardaerah dari produsen ke konsumen. Lalu, menindak tegas praktik pungutan liar dan membatasi pungutan resmi sepanjang jalur distribusi dari produsen ke konsumen.