Pemerintah tengah gencar mendorong investasi pengembangan baterai mobil listrik di dalam negeri. Adapun peluang bisnis ini turut menarik produsen baterai ABC ,yakni PT International Chemical Industry untuk ikut memproduksi baterai cell litihium ion pada 2021.
“PT International Chemical Industry akan mulai masuk tahap pra-produksi komersial pada akhir tahun ini dan mulai masuk tahap produksi komersial pada 2021,” kata Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Putu Juli Ardika seperti dikutip dari keterangan pers, Rabu (29/7).
Ia mengatakan, produsen baterai ABC itu telah berinvestasi Rp 207,5 miliar. Dari inivestasinya ini, perusahaan akan memproduksi 25 juta unit bateral cell lithium ion atau setara dengan 256 MWh per tahun.
Tak hanya itu, Putu juga menyebut, Kemenperin telah menerima berbagai komitmen investasi untuk sektor refinery bahan baku baterai kendaraan listrik. Di Morowali, Sulawesi Tengah misalnya, PT QMB New Energy Minerals telah meralisasikan investasinya yang senilai US$ 700 juta atau sekitar Rp 10,2 triiun.
Demikian pula PT Halmahera Persada Lygend juga telah berkomitmen menggelontorkan dananya sebesar Rp 14,8 triliun di Halmahera, Maluku Utara.
"Investasi dalam pengembangan baterai kendaran listrik perlu terus kami dorong," ujar dia.
Ketertarikan para investor menanam modalnya di industri baterai listrik menurutnya tak lepas dari daya tarik Indonesia sebagai salah satu pemilik sumber daya alam nikel dan kobalt. Kedua bahan ini kerap digunakan sebagai bahan baku baterai listrik.
Untuk memaksimalkan potensi pengembangan, pemerintah telah membentuk tim untuk mendorong keterlibatan industri dalam negeri dalam produksi baterai kendaraan listrik. Tim ini terdiri dari BUMN di sektor tambang dan energi seperti Mind.id, PT Antam, PT PLN, dan PT Pertamina.
Adapun tim yang akan bertugas mengamankan raw material dan refinery akan ditangani Antam dan Mind.id. Sementara itu, PLN dan Pertamina fokus pada sektor hilir.
Saat ini, Kemenperin juga terus berkoordinasi dengan sejumlah pemangku kepentingan, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Salah satu isu utama yang dibahas ialah daur ulang baterai lithium ion bekas menjadi bahan baku dalam memproduksi baterai baru.
Dari berbagai kajian, lanjut Putu, baterai lithium ion dapat didaur ulang dan hasilnya 100% tidak ada yang terbuang sehingga tidak menghasilkan limbah B3.
"Hal ini tentu sangat penting untuk menyokong produksi bahan baku baterai yang ada di berbagai wilayah seperti di Morowali," ujar dia.
Kemenperin pun akan terus berkoordinasi dengan KLHK terkait upaya daur ulang baterai lithium ion yang aman bagi lingkungan.
Produksi baterai lithium-ion global untuk kendaraan listriksebelumnya baru terkonsentrasi di empat negara, yakni Amerika Serikat (AS), Tiongkok, Korea Selatan, dan Polandia.
Tiongkok merupakan produsen terbesar baterai lithium ion dunia, dengan kapasitas 16,4 Gigawatt hour (GWh) pada 2016. Produksi baterai lithium-ion Tiongkok ini diprediksi akan mencapai 107,5 GWh pada 2020 atau tumbuh hampir enam kali lipat dibandingkan 2016.
Detail mengenai kontribusi masing-masing negara pada produksi baterai listrik bisa dilihat dalam databoks berikut: