Pedagang pasar protes atas rencana pemerintah yang hendak menarik Pajak Pertambahan Nilai atau PPN atas produk sembako dan beberapa jenis kebutuhan pokok. Pemerintah masih memasukkan pajak sembako dalam draft Revisi Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Dalam dokumen revisi RUU KUP dalam pasal 1 angka 10 dan Pasal 44E, dua jenis barang dan 11 jenis jasa keluar dari daftar bebas PPN. Dua jenis barang yang dihapus dari daftar bebas PPN yakni (a) barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya dan (b) barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
Induk Koperasi Pedagang Pasar (Inkoppas) mengatakan, pengenaan PPN bahan pokok pada kategori premium seperti beras shirataki dan daging wagyu akan turut mengerek harga bahan pokok sejenis lainnya. “Tentu saja akan berpengaruh terhadap harga bahan pokok yang lain, meski saat ini rencana tersebut belum diketuk palu,” kata Sekretaris Jenderal Inkoppas Ngadiran kepada Katadata, Jumat (17/9).
Ia mengatakan, bahwa banyak pedagang yang mengeluhkan rencana tersebut karena daya beli masyarakat saat ini masih rendah. Kunjungan ke pasar tradisional pun mengalami penurunan karena banyak masyarakat yang lebih memilih untuk berbelanja online.
“Saya panik memikirkan nasib teman-teman pedagang pasar, bagaimana nasibnya mereka. Saat ini daya beli saja masih lemah,” kata dia.
Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) juga menolak dan menyayangkan rencana pemerintah untuk mengenakan PPN kepada bahan pokok. Ketua Bidang Infokom DPP IKAPPI, Muhammad Ainun Najib, menjelaskan kebutuhan pokok yang sangat di butuhkan masyarakat tidak dikenakan PPN sudah diatur Peraturan Menteri Keuangan No.116/PMK.010/2017.
Ia mengatakan, IKAPPI sudah bertemu dengan beberapa pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Dirjen Pajak, dan Stafsus Menkeu untuk menjelaskan bahaya sembako dikenakan pajak. IKAPPI juga menjelaskan alur distribusi barang dan potensi kenaikan harga pangan jika ini tetap dikenakan pajak.
Ia berharap pemerintah dapat mengkaji ulang kebijakan tersebut. Menurutnya, beberapa komoditas yang masuk dalam poin pengenaan pajak tersebut masih belum selesai dalam perbaikan distribusi dan produksi.
"Kami sekali lagi berharap agar pemerintah dan DPR mengkaji ulang kebijakan ini dan merumuskannya pada peraturan menteri keuangan bukan pada draft UU atau UU yang akan di putuskan nanti," kata dia.