Dialog Sosial sebagai Mitigasi K3 dan Peningkatan Produktivitas

PBB
Penulis: Padjar Iswara - Tim Riset dan Publikasi
30/4/2022, 14.53 WIB

Pengambilan keputusan Keselamatan dan kesehatan Kerja (K3) membutuhan dialog sosial antara pekerja dan pekerja untuk menciptakan tindakan pencegahan, adaptasi, implementasi yang lebih cepat dan efektif di tingkat tempat kerja.

Selain itu, dialog sosial juga dapat meningkatkan produktivitas perusahaan seturut peningkatan kualitas kebijakan dan strategi K3.

Dalam acara webinar ‘Meningkatkan Dialog Sosial Menuju Budaya Kesehatan dan Keselamatan’ yang digelar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) bersama Katadata, Kamis (28/4), Direktur Jenderal Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 Kementerian Ketenagakerjaan, Haiyani Rumondang mengatakan, Hari K3 dunia ini merupakan salah satu momentum untuk mengedepankan partisipasi multi sektor, dialog sosial, dan kesadaran bersama dalam membangun sistem K3 yang kuat.

”Saya harap tema ini dapat dipromosikan secara meluas dan diimplementasikan oleh seluruh pihak terkait,” ujar dia.  

Menurut Haiyani, dialog sosial dalam penerapan K3 merupakan budaya positif yang harus menjadi kebiasaan di sistem manajemen lingkungan kerja.

Di samping itu, dialog sosial di dalam budaya K3 ini butuh kesadaran bersama, baik di kalangan lembaga pemerintah, perusahaan, maupun keryawan, sehingga dialog sosial akan menjadi budaya K3 yang berkelanjutan di masa mendatang.

“Jalan untuk mengembangkan itu yakni dengan partisipasi dan dialog sosial,” kata dia.

Spesialis K3 ILO Yuka Ujita mengatakan, dialog sosial mengenai K3 perlu terus didorong mengingat data global dari International Commission on Occupational Health (ICOH) menunjukkan setiap tahun ada 2,9 juta kematian yang disebabkan oleh kecelakaan akibat kerja.

Menurut Yuka, sebanyak 80 persen dari kematian itu diakibatkan oleh penyakit yang berkorelasi dengan pekerjaan, dan 20 persen lantaran cedera kerja. Di samping itu, terdapat 402 juta orang yang mengalami cedera non-fatal di dunia.

Kecelakaan kerja ini, kata dia, dapat dicegah lewat sosialisasi K3, dan penerapan dialog sosial di lingkungan kerja.

Berbagai bentuk dialog sosial dapat dibangun melalui beberapa cara, salah satunya melalui dialog tripartit. Kemudian, tripartit ‘plus’, di mana buruh, manajemen, pengusaha, dan pekerja, terlibat dalam pemgambilan keputusan.

“Saya ingin tekankan bahwa angka kematian yang sangat besar ini, serta cedera ini, semua dapat dicegah. Semua pihak bisa berkontribusi dari sisi pencegahan kematian atau cedera tersebut, serta penyakit yang ditimbulkan,” kata dia.

Di sisi lain, Katadata Insight Center (KIC) merilis survei ’Persepsi Masyarakat Terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja’.

Survei yang melibatkan 916 responden ini menunjukkan sebanyak 64,4 persen masyarakat pernah menerima sosialisasi isu K3 secara rutin.

Sementara, sekitar 85,9 persen responden mengatakan sering mengajukan aspirasi dan berdialog mengenai isu K3 lingkungan perusahaan.

Terkait hal itu, Safety Health Environment (SHE) Corporate Manager PT Trakindo Indonesia, Muhammad Siri mengatakan, Trakindo juga mengutamakan dialog sosial dalam penerapan budaya K3. Dalam menerapkan dialog sosial di lingkungan kerja, Trakindo juga memperhatikan isu kesehatan mental di kalangan para pekerja.

”Kami mengundang pakar-pakar psikologi. Lalu kami juga mengundang dokter-dokter yang berkaitan dengan kesehatan mental,” kata dia.

Menurut Siri, penerapan dialog sosial dalam dinamika budaya K3, membutuhkan komitmen dari level manajemen.

Selain itu, kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) sekaligus anggaran akan sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan penerapan budaya K3.  Dia melihat top manajemen perusahaan berkomitmen. Misalnya, membuat kebijakan bekerja dari rumah dan termasuk perusahaan menyediakan pelaksanaan tes COVID-19.

Ratih Ibrahim, psikolog klinis dan CEO Personal Growth mengatakan, talenta SDM sedari awal harus dijadikan aset penting perusahaan. Dengan demikian, ke depan penguatan kualitas SDM akan sejalan dengan peningkatan produktivitas perusahaan.

“Dalam mempersiapkan ‘the what’s next’, hal yang perlu diupayakan adalah SDM betul-betul produktif dan unggul sehingga bisa menciptakan produktivitas dalam organisasi bisnis,” kata dia.

Ratih melanjutkan, penerapan budaya K3 harus dimulai melalui dialog sosial. Selain menciptakan empati di seluruh lini perusahaan, dialog sosial akan mendorong cara berpikir kronologis ketika perusahaan mengantisipasi kecelakaan kerja.

“Untuk menciptakan dialog sosial yang sehat dalam rangka membangun budaya kerja yang positif, dibutuhkan adanya proses yang dimulai dari persepsi, mindset, sampai perilaku,” ujar dia.

Ratih mengatakan, membentuk lingkungan kerja yang positif dapat dimulai dari investasi waktu terhadap kerja-kerja psikoedukasi. Berbagai kerja psikoedukasi ini di masa mendatang akan berdampak pada tumbuhnya budaya kerja yang positif di lingkungan perusahaan.

“Empati ini bisa ditumbuhkan dari kegiatan psikoedukasi yang di antaranya berupa, webinar, diskusi, dan pelatihan,” katanya.

Sementara itu, Direktur Ketenagakerjaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Mahatmi Saronto mengatakan peran Bappenas dalam penguatan K3 di tingkat korporasi antara lain menggencarkan perencanaan dan pengawasan.

Kemudian hal tersebut akan ditindaklanjuti lebih jauh dengan penerapan di tingkat nasional maupun daerah.

“Hal ini memang perlu dikolaborasikan bersama-sama,” kata dia.

Kegiatan pengenalan budaya K3 itu juga perlu menyasar berbagai pihak. “Kami akan memetakan sistem berbagai penerapan pengenalan budaya K3,” ujar Mahatmi.

Mahatmi menambahkan bahwa Bappenas mendukung Kementerian Ketenagakerjaan sebagai leading sector ketenagakerjaan untuk mendorong penerapan sistem menajamen K3 di tingkat korporasi.

Namun penerapan sistem manajemen K3 juga akan semakin kuat apabila ada sinergi dari berbagai lembaga beserta fungsinya masing-masing.

“Kami akan mendukung dalam bentuk regulasi terkait dengan K3. Kebetulan kami memiliki cakupan koordinasi yang luas,” ujar dia.