Ini Alasan Milenial Belum Punya Rumah Meskipun Ada Properti Subsidi

ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Foto udara perumahan di Arjasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (6/10/2019).
5/10/2022, 20.34 WIB

Indonesia Property Watch atau IPW menemukan salah satu alasan minimnya pembelian rumah oleh generasi milenial adalah tidak adanya pasar bagi milenial. Pasar yang dimaksud adalah properti di wilayah perkotaan dengan harga yang terjangkau.

PT Bank Tabungan Negara Tbk atau BTN mendata sebanyak 28,63% generasi milenial beralasan belum menemukan properti yang tepat untuk membeli rumah. Sementara itu, generasi milenial yang belum mampu secara finansial mencapai 24,92%.

"Generasi milenial, khususnya di perkotaan, mereka ada gengsinya. Generasi milenial nggak mau beli rumah subsidi, tapi kalau mau beli rumah atau apartemen seharga Rp 300 juta - Rp 500 juta nggak ada di perkotaan," kata CEO IPW Ali Tranghanda dalam webinar "Mengatasi Backlog Perumahan di Tengah Tren Kenaikan Suku Bunga", Rabu (5/10).

Sebagai informasi, rumah subsidi pada umumnya memiliki harga di bawah Rp 200 juta. Di samping itu, Ali mengatakan generasi milenial yang bekerja di perkotaan tidak mau membeli rumah di pinggiran kota. Pertimbangan yang diberikan adalah waktu perjalanan dari rumah ke tempat bekerja dan sebaliknya.

 Ali menilai, pemerintah belum mengakomodir pasar properti khusus milenial tersebut. Pada akhirnya, generasi milenial yang bekerja di perkotaan memutuskan untuk menyewa properti.

Ali menyampaikan sebagian generasi milenial dapat menyewa unit apartemen di kawasan perkotaan hingga Rp 2,5 juta per bulan. Artinya, properti yang dapat dibeli generasi milenial secara umum adalah sekitar Rp 300 juta.

Namun demikian, properti atau unit apartemen yang tersedia di kawasan perkotaan mayoritas di atas Rp 600 juta per unit. Menurutnya, penciptaan pasar tersebut penting lantaran generasi milenial berkontribusi hingga 32,5% dari penduduk saat ini.

"Masalah perkotaan ini harusnya didudukkan bersama, tidak hanya tanggung pemerintah, tapi juga sektor swasta dan BUMN," kata Ali.

Kepala Divisi Subsidized Mortgage Lending Division BTN Mochamad Yut Penta mengatakan generasi milenial memiliki gengsi untuk membeli rumah subsidi atau dengan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Hal tersebut ditunjukkan dari data profil nasabah KPR BTN yang menggunakan skema FLPP.

Yut mendata 90% dari nasabah KPR FLPP memiliki penghasilan hanya hingga Rp 6 juta per bulan. Adapun, syarat nasabah KPR FLPP adalah memiliki pendapatan hingga Rp 8 juta per bulan.

"Ini menunjukkan ada masyarakat yang preferensinya nggak mau beli rumah subsidi, tapi mau beli rumah dengna segmen yang naik satu level nggak mampu lagi," kata Yut.

Oleh karena itu, Yut telah mengusulkan ke pemangku kepentingan untuk memperluas segmen penerima bantuan subsidi KPR hingga Rp 8 juta per bulan. Penerima bantuan tersebut akan dikenakan bunga yang lebih tinggi, yakn 7% per bulan. Dengan demikian, Yut menilai beban anggaran pemerintah menjadi tidak terlalu berat dan kecepatan pemilikan rumah dapat terakselerasi.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menyalurkan bantuan pembiayaan pemilikan rumah senilai Rp 11,41 triliun untuk pembangunan 165.607 unit rumah. Mayoritas dana pembiayaan pemilikan rumah tersalurkan lewat program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) hingga  Rp 11,06 triliun untuk pembangunan 99.557 unit rumah.  

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna, memaparkan penyaluran FLPP menghadapi dua kendala pada paruh pertama 2022. Kendala yang dimaksud adalah pencairan dana FLPP baru dapat dilakukan pada Februari 2022 dan penyaluran menunggu ketersediaan kapasitas dari bank penyalur.

Pada 2023, Herry menargetkan penyaluran bantuan pembiayaan rumah naik 18,58% dari target 2022 senilai Rp 29,09 triliun menjadi Rp34,5 triliun. Bantuan pembiayaan melalui program FLPP masih mendominasi atau senilai RP 25,18 triliun untuk pembangunan 220.000 unit rumah.

Adapun, target pembangunan rumah bersubsidi pemerintah adalah sebanyak 274.924 unit ari gabungan target program FLPP sebanyak 220.000 unit dan Tapera sejumlah 54.924 unit.  Herry mencatat target anggaran yang dikeluarkan untuk program Tapera hanya Rp 4,6 triliun. Angka tersebut lebih rendah dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pada tahun ini senilai Rp 10,56 triliun untuk pembangunan 125.000 unit rumah.




Reporter: Andi M. Arief