Harga Fleksibilitas Gabah Belum Kompetitif, Bisa Picu Kelangkaan Beras

ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang/aww.
Petani memanen padi di Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Kamis (2/2/2023).
14/3/2023, 11.29 WIB

Lembaga Penelitian Center for Indonesian Policy Studies menilai kebijakan fleksibilitas harga gabah atau beras yang dikeluarkan Badan Pangan Nasional belum bisa sepenuhnya membuat harga beras menjadi stabil. Pasalnya harga fleksibilitas gabah atau beras tersebut belum kompetitif.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies atau CIPS Mukhammad Faisol Amir mengatakan, harga gabah kering panen yang ditawarkan oleh pemerintah masih di bawah harga pasar. 

Berdasarkan ketetapan Badan Pangan Nasional, harga felksibilitas gabah kering panen sebesar Rp 5.000 per kg.  Sementara menurut Badan Pusat Statistik atau BPS, harga gabah kering panen di bulan Februari lalu sebesar Rp 5.711.

"Kebijakan ini justru tidak membuat petani tertarik," kata dia melalui keterangan tertulis, Selasa (14/3).

Dia mengatakan, pada akhirnya petani akan dihadapkan pada pilihan yang terbatas yakni nilai HPP yang lebih rendah daripada harga di pasar. Hal tersebut jelas akan merugikan petani. 

"HPP sudah tidak realistis. Petani jelas akan menjual di atas HPP apalagi sekarang banyak masalah terkait produktivitas lahan seperti kekeringan dan cuaca yang tidak diprediksi," kata dia.

Picu Kelangkaan Beras

Dia mengatakan, pemerintah seharusnya membenahi terlebih dahulu masalah utama beras yaitu rantai distribusi yang panjang sebelum menerapkan fleksibilitas. Kebijakan harga felksibilitas yang berada di bawah harga pasar justru akan memicu adanya pasar gelap dan meningkatkan risiko kelangkaan beras.

“Langkah yang perlu dipastikan saat ini bukan fokus pada penyerapan. Tetapi bagaimana membantu petani meningkatkan produktivitas di tengah kombinasi berbagai faktor yang mempengaruhi proses produksi, sehingga dapat dipastikan produksi domestik dapat meningkat dengan kualitas yang dapat bersaing di pasar,” kata Faisol.

Dia menuturkan kebijakan perberasan perlu difokuskan pada bagaimana membuat proses produksi menjadi lebih efisien dan berkelanjutan. Pasalnya, menurut Faisol, berbagai persoalan masih ada pada produksi beras, seperti tingginya ongkos produksi dan minimnya akses petani terhadap input pertanian berkualitas. Ditambah, faktor di luar proses seperti melemahnya daya beli, kenaikan harga bahan bakar minyak dan krisis iklim. 

Menurut dia, tingginya ongkos produksi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan harga beras nasional menjadi tinggi. Kondisi geografis Indonesia juga membuat biaya pengangkutan menjadi tinggi.

Studi International Rice Research Institute atau IRRI pada tahun 2016 menemukan bahwa ongkos produksi beras di Indonesia 2,5 kali lebih mahal dari Vietnam dan 2 kali lebih mahal dari Thailand. 

Studi ini juga menunjukkan rata-rata biaya produksi satu kilogram beras di Indonesia adalah Rp 4.079, hampir 2,5 kali lipat biaya produksi di Vietnam (Rp 1.679), hampir 2 kali lipat biaya produksi di Thailand (Rp 2.291) dan India (2.306). 

Ongkos produksi beras di Indonesia juga lebih mahal 1,5 kali dibandingkan dengan ongkos produksi di Filipina (Rp 3.224) dan Tiongkok (Rp 3.661).

United States Department of Agriculture (USDA) memproyeksikan produksi beras global mencapai 503,27 juta metrik ton (MT) pada musim 2022/2023, turun 11,78 juta MT (2,29%) dari musim 2021/2022.

Indonesia menjadi produsen beras terbesar keempat di dunia, sekaligus nomor satu di Asia Tenggara dengan estimasi produksi 34,6 juta MT pad musim 2022/2023.

Reporter: Nadya Zahira