Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Kabupaten Badung Ray Surya Wijaya menyampaikan seluruh pengusaha hiburan di Bali secara tegas menolak kenaikan pajak hiburan menjadi setidaknya 40%. Pajak hiburan di Pulau Dewata pada tahun lalu adalah 15%.
Kenaikan pajak hiburan merupakan konsekuensi dari pengesahan Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah. Beleid tersebut mengatur kenaikan pajak hiburan berlaku pada 5 Januari 2024.
Surya menjelaskan, mayoritas pengusaha hiburan di Bali baru memasuki masa pemulihan. Kenaikan pajak tersebut berpotensi mengganggu masa perbaikan usaha tersebut.
"Pajak hiburan sebelumnya sebesar 15% lebih dari cukup dan sudah sangat tinggi bagi kami. Selain itu, kenaikan pajak hiburan ini sudah menjadi isu internasional," kata Surya di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Senin (22/1).
Surya menjelaskan, penjual paket wisata di Bali telah menerima beberapa kekhawatiran wisatawan mancanegara. Dengan demikian, Surya berpendapat kenaikan pajak hiburan pada akhirnya akan kembali meruntuhkan perekonomian di Pulau Dewata seperti pandemi Covid-19.
Ia menghitung tenaga kerja yang diserap industri hiburan di Bali adalah sekitar 1,2 juta orang. Dengan kata lain, hampir 28% penduduk Bali mencari nafkah di sektor dan subsektor pariwisata.
"Jadi, harus hati-hati dalam menentukan pajak hiburan. Pemerintah daerah harus berani dan secara tegas mengatur pajak hiburan di Bali," ujarnya.
Surya mengatakan, pemerintah daerah Bali dapat menentukan pajak hiburan secara mandiri atau lebih rendah dari UU No. 1 Tahun 2022 di rentang 40% sampai 75%. Menurutnya, hal tersebut dimungkinkan dengan Surat Edaran yang telah diterbitkan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada akhir pekan lalu, Jumat (19/1).
Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia Hariyadi Sukamdani mengatakan surat edaran tersebut pada intinya mengembalikan besaran pajak hiburan ke aturan sebelumnya. Haryadi menilai surat edaran tersebut penting diindahkan setiap pemerintah daerah lantaran industri hiburan lokal saat ini belum pulih.
"Secara umum, rata-rata pajak hiburan di dalam negeri adalah 10%. Harapan kami kembali saja ke besaran pajak hiburan yang lama, yang penting tidak dinaikkan seperti UU No. 1 Tahun 2022," kata Haryadi.
Haryadi berpendapat kenaikan pajak hiburan memiliki efek berganda yang negatif, yakni pengurangan pembelian tiket wisata, penghuni hotel, dan omzet pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di daerah. Pada akhirnya, pendapatan pajak pemerintah akan berkurang akibat beleid tersebut.