Bank Dunia Beberkan Penyebab Petani RI Tak Sejahtera Meski Harga Beras Naik

ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/tom.
Ilustrasi.
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Agustiyanti
20/9/2024, 13.51 WIB

Bank Dunia menyatakan salah satu rendahnya produktivitas beras di Indonesia adalah besarnya anggaran untuk pupuk subsidi. Besarnya subsidi pupuk membuat anggaran untuk meningkatkan produktivitas pertanian lainnya menjadi berkurang.

Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Carolyn Turk mendata minimnya produktivitas membuat rata-rata pendapatan petani nasional tumbuh kurang dari 1% per tahun. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh minimnya sumber daya pemerintah ke bidang penelitian dan penyuluhan pertanian akibat besarnya subsidi pupuk.

"Penelitian dan penyuluhan pertanian biasanya mempunyai keuntungan yang cukup tinggi dalam kaitannya dengan pertumbuhan produktivitas," kata Turk dalam Indonesia International Rice Conference 2024, Kamis (19/9)

Berdasarkan catatan Katadata, nilai subsidi pupuk pada 2016 sampai 2019 konsisten tumbuh. Adapun, anggaran subsidi pupuk pada 2019 menjadi yang tertinggi pada 2005 sampai 2022 atau senilai Rp 34,31 triliun.

Anggaran pupuk tercatat masuk tren penurunan hingga 2022 menjadi Rp 25,28 triliun. Namun, anggaran pupuk subsidi pada tahun ini kembali melonjak menjadi Rp 54 triliun atau setara dengan 9,55 juta ton pupuk.

Turk mengatakan, peningkatan subsidi pupuk tidak menghasilkan pertumbuhan produktivitas para petani. Oleh karena itu, Turk menilai pengeluaran di bidang lain selain pupuk menjadi penting untuk menggenjot produktivitas petani.

Selain penelitian dan penyuluhan petani, Turk berpendapat investasi pada infrastruktur setelah panen menjadi penting. Adapun tujuan pengelolaan usai panen adalah untuk menghindari pangan yang terbuang atau food loss pada tahap produksi dan distribusi.

Badan Perencanaan pembangunan Nasional mendata food loss pada tanaman pangan hanya 5,8% dari total produksi pada 2000 sampai 2019. Sementara itu, food loss dari tanaman padi-padian sekitar 13,4%.

Walau demikian, nilai ekonomi yang hilang dari food loss tanaman pangan mendekati Rp 60 triliun pada 20 tahun tersebut. Sementara itu, angka ekonomi yang hilang dari food loss pada tanaman padi-padian lebih dari Rp 50 triliun per tahun. "Investasi pada penelitian dan penyuluhan petani penting untuk mengurangi kerugian pasca panen," katanya.

Turk menemukan banyak peluang untuk meningkatkan praktek penanganan usai panen beras di dalam negeri. Turk mengatakan telah mengucurkan dana investasi sebesar US$ 500 juta atau Rp 7,64 triliun hingga tahun ini.

Investasi berbentuk penggunaan benih cerdas iklim yang dilakukan di 10 provinsi. Turk menjelaskan investasi tersebut memiliki plot kontrol dan menggunakan pendekatan iklim terpadu.

Hasil investasi tersebut adalah peningkatan hasil panen sebesar 20% di seluruh lokasi investasi. Selain itu, petani mendapatkan peningkatan laba bersih senilai Rp 3,7 juta per hektare.

"Selain itu, kami melihat penurunan emisi metana rata-rata sebesar 37% pada plot percobaan tersebut," ujarnya.

Reporter: Andi M. Arief