Mayora: Kebijakan Label Gula Berpotensi Kerek Biaya Produksi Hingga 5 Kali Lipat

ANTARA FOTO/Cahya Sari/sgd/foc.
Warga melintas di samping rak berisi minuman berpemanis di salah satu toko retail, Jakarta.
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Agustiyanti
5/11/2024, 15.46 WIB

PT Mayora Indah Tbk menyatakan implementasi aturan pelabelan kandungan gula tanpa penyesuaian dapat menghancurkan proses bisnis perseroan. Emiten makanan dan minuman berkode MYOR ini menilai kebijakan tersebut dapat menggandakan biaya produksi hingga lima kali lipat.

Direktur Utama MYOR Andre Sukendra Atmadja mencontohkan, produk permen yang akan otomatis mendapatkan label merah jika kebijakan tersebut diterapkan. Ini karena kandungan gula dalam sebuah permen mencapai 40% atau 1,2 gram dari total berat bersih 3 gram.

"Kalau membuat permen tanpa gula, biaya produksi kami bukan hanya naik dua kali lipat, tapi bisa hingga empat sampai lima kali lipat," kata Andre di pabriknya, Selasa (5/11).

Kebijakan pelabelan tersebut diwacanakan tertuang dalam aturan turunan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 tentang Aturan Pelaksana Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pasal 194 PP Kesehatan menetapkan penentuan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak akan mempertimbangkan kajian risiko maupun standar internasional.

Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO tidak mengeluarkan mandat terkait konten gula dalam pangan kemasan. Namun, WHO menetapkan konsumsi gula per hari adalah 50 gram.

Kebijakan pelabelan akan membagi pangan dalam kemasan menjadi tiga warna, yakni merah, kuning, dan hijau. Label merah menandakan pangan tersebut melebihi kandungan gula, garam, dan lemak yang sebaiknya dikonsumsi, kuning bertanda waspada, dan hijau menunjukkan pangan tersebut aman dikonsumsi.

Andre menilai, kebijakan pelabelan tersebut akan cenderung menyesatkan konsumen dalam menilai suatu pangan.  Ia mencontohkan, produk permen yang memang memiliki kandungan gula tinggi. 

Ia pun menawarkan dua alternatif kepada pemerintah dalam menjaga konsumsi gula di masyarakat. Pertama, pemberian masa tenggang atau grace period selama dua tahun sebelum implementasi penuh kebijakan pelabelan.

Andre berargumen industri makanan dan minuman di dalam negeri butuh waktu untuk melakukan reformulasi resep pada setiap produknya. Pada masa yang sama, Andre menilai masyarakat perlu mendapatkan masa edukasi yang cukup dalam mengonsumsi produk pangan kemasan rendah gula.

Kedua, mengganti kebijakan pelabelan dengan fokus pada program "Pilihan Lebih Sehat". Seperti diketahui, Badan Pengawas Obat dan Makanan telah meluncurkan logo centang hijau pada pangan kemasan dengan rendah gula, garam, dan lemak.

Andre menilai program "Pilihan Lebih Sehat" pada akhirnya akan memicu produsen untuk memproduksi pangan rendah gula, garam, dan lemak. Sebab, program tersebut akan memiliki sosialisasi ayng lebih efektif lantaran telah lebih lama diluncurkan atau sejak 2021.

"Konsumen akan lebih teredukasi dengan program "Pilihan Lebih Sehat" dan akhirnya hijrah ke pangan rendah gula, garam, dan lemak dalam 2-3 tahun ke depan. Jadi, produsen lebih stabil dalam menjalankan bisnis," ujarnya.

Reporter: Andi M. Arief