Kisah Ignaz Semmelweis, Pelopor Cuci Tangan yang Berakhir Tragis

ANTARA FOTO/Anis Efizudin/foc.
Sejumlah pelajar mempraktekkan cara mencuci tangan yang benar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) AL HIdayah Mudal, Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu (14/3/2020). Kegiatan Gerakan Cuci Tangan dengan benar tersebut untuk memberikan pendidikan kepada pelajar pentingnya menjaga kesehatan dan mencegah penularan virus Corona (COVID-19). FOTO ANTARA/Anis Efizudin/foc.
20/3/2020, 13.30 WIB

Di tengah pandemi corona, rajin mencuci tangan menjadi salah satu anjuran yang terus didengungkan para ahli kesehatan. Dalam sejarahnya, cuci tangan ternyata pernah menyelamatkan banyak jiwa dari risiko demam nifas di era tahun 1800-an.

Adalah Ignaz Phillip Semmelweis, dokter asal Hungaria kelahiran 1 Juli 1818, yang berjasa di balik sejarah tersebut. Ia kemudian dikenal sebagai pelopor mencuci tangan. Google mengenang Semmelweis dengan menjadikan dirinya sebagai tokoh Google Doodle pada Jumat ini, 20 Maret 2020. 

Pada era 1800-an di Eropa, banyak ibu yang meninggal dunia setelah demam pasca-melahirkan atau demam nifas. Dikutip dari News Scientist, sebagian besar dokter kala itu percaya bahwa kematian disebabkan oleh miasma, bakteri yang berasal dari selokan dan tumbuh-tumbuhan.

(Baca: Beberapa Obat yang Diklaim Efektif Sembuhkan Pandemi Corona)

Berbagai rumah sakit mencegahnya dengan menutup jendela karena bakteri tersebut dianggap menular lewat udara. Namun, Semmelweis yang ketika itu bertugas sebagai asisten profesor di klinik bersalin Vienna General Hospital, Wina, Austria, punya pendapat lain. Para ibu terinfeksi oleh partikel cadaverous yang berasal dari jenazah.

Penyebabnya, dokter-dokter yang tengah dalam masa pelatihan, menangani proses bersalin setelah melakukan otopsi jenazah. Pendapat tersebut didasarkan pada temuan bahwa ibu yang melahirkan lewat jasa dokter lebih banyak mengalami kematian ketimbang ibu yang melahirkan dengan bantuan bidan. Selain itu, fakta tentang adanya dokter yang meninggal setelah terluka oleh pisau bedah saat otopsi. 

Semmelweis kemudian berinisiatif menganjurkan para dokter untuk membudayakan cuci tangan. Ia memperkenalkan cara mencuci tangan dengan klorin dan lemon untuk para dokter yang sehabis menangani otopsi. Dikutip dari The Guardian, langkah ini berhasil menurunkan angka kematian akibat demam nifas dari setinggi-tingginya 18% bagi ibu yang baru pertama kali melahirkan menjadi 1%.

(Baca: Panduan Isolasi Mandiri 14 Hari, Apa Saja yang Harus Dilakukan?)

Meski ide cuci tangannya berhasil menurunkan angka kematian, namun banyak reaksi penolakan dari kalangan dokter di Wina. Penolakan lantaran para dokter tersinggung dengan pendapat bahwa mereka bisa menyebabkan infeksi.

“Mayoritas dokter di Wina berasal dari keluarga kelas menengah atas, dan mereka menganggap diri mereka sebagai orang yang sangat bersih dibandingkan dengan orang miskin kelas pekerja. Dia (Semmelweis dinggap) menghina ketika mengatakan tangan dokter bisa kotor," kata Profesor Sejarah dari Stony Brook University Nancy Tomes seperti dikutip The Guardian.

Dikutip dari situs Semmelweis Society International, Semmelweis juga diejek oleh komunitas medis di Wina, bahkan dipecat dari tempat kerjanya. Kondisi tersebut memaksa Semmelweis untuk pindah ke Budapest. Di sana, ia rajin menulis surat terbuka kepada komunitas dokter kandungan di seluruh Eropa.

Lewat surat tersebut, Semmelweis mengekspresikan kemarahannya atas ketidakpedulian dokter di Eropa. Masyarakat Eropa di zaman tersebut, termasuk istrinya, menganggap Semmelweis telah kehilangan akal sehat karena gemar mencela profesi dokter sebagai “pembunuh yang tidak bertanggungjawab”.

Ia masuk rumah sakit jiwa pada 1865. Ia meninggal 14 hari kemudian, tepatnya pada 13 Agustus 1865, diduga karena dipukuli penjaga. Ia meninggal pada usia 47 tahun.

Kini, dunia pun mengenal istilah Semmelweis effect, sebuah metafora untuk mendeskripsikan penolakan orang banyak terhadap pengetahuan baru yang bertentangan dengan norma, kepercayaan, atau paradigma yang sudah ada. Istilah tersebut terinspirasi dari gambaran reaksi masyarakat Eropa terhadap pemikiran Semmelweis.

Pengetahuan Semmelweis baru diterima secara luas setelah kematiannya, lewat penelitian-penelitian. Pada 1957, saat kesehatan mental Semmelweis menurun, Louis Paster melakukan penelitian tentang bakteri penyebab penyakit yang memberikan penjelasan teoritis atas pemikiran Semmelweis, bahwa cuci tangan bisa menjadi instrumen pencegahan penyakit.

Penelitian Louis juga berhasil membuktikan bahwa bakteri dapat dibunuh dengan tingkat panas tertentu. Dari sana muncul penelitian lanjutan tentang antiseptik. Suhu panas tadi berhasil diterapkan dalam bentuk cairan yang tidak merusak kulit manusia sehingga dapat digunakan saat mencuci tangan.

Penulis/reporter: Nobertus Mario Baskoro