Setelah hampir genap tiga bulan menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump kini memulai perang pertamanya. Amerika Serikat (AS) menyerang Suriah dengan meluncurkan puluhan misil. Langkah ini seakan sebuah balasan atas serangan senjata kimia yang melanda Suriah beberapa hari lalu.
Serangan rudal dilakukan pada Kamis (6/4) malam waktu AS, atau Jumat (7/4/) dini hari waktu setempat. Sekitar lebih 50 rudal ditembakkan dari dua kapal perang AS, yaitu USS Porter dan USS Ross, yang bersiaga di Laut Mediterania. Puluhan rudal itu menyasar pesawat tempur, landasan udara dan pusat pengisian bahan bakar di pangkalan udara Suriah.
Sesaat sebelum menyerang Suriah, Trump mengatakan “harus melakukan sesuatu” terhadap pemimpin Suriah. Peringatan ini menyusul serangan senjata kimia seperti gas sarin di Kota Khan Sheikhoun, Provinsi Idlib, Selasa lalu, yang menyebabkan puluhan orang, termasuk setidaknya 27 anak, meninggal dunia.
(Baca: Temu Perdana Trump dan Jinping yang Memuat Banyak Kepentingan)
Dalam perjalanannya ke Florida untuk bertemu dengan Presiden Cina Xi Jinping, Trump memberikan penjelasan. “Saya rasa yang dilakukan Assad (Presiden Suriah) sangat mengerikan. Yang terjadi di Suriah merupakan bentuk kekejaman terhadap kemanusiaan,” ujar Trump, seperti dilansir BBC, Jumat (7/4).
Ia pun mengungkapkan saat ini Amerika Serikat sedang menggalang kekuatan internasional untuk menggulingkan Assad. Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson menyatakan, seharusnya Presiden Suriah Bashar al-Assad tidak lagi memimpin negara tersebut.
“Jika Trump saat ini tidak mengambil tindakan, maka ia akan terlihat lemah, dan dia tidak menginginkan hal itu,” kata editor BBC Amerika Utara, Jon Sopel.
Pemerintah Suriah membantah telah meluncurkan senjata kimia dari udara. Sementara itu, Rusia mengatakan gas beracun tersebut disebabkan oleh serangan udara dengan menggunakan senjata pemberontak yang mengenai gudang persenjataan kimia.
(Baca: "Main Belakang" dengan Rusia, Penasihat Keamanan Trump Mundur)
Namun, Amerika Serikat dan sekutunya tidak mempercayai argumen Suriah maupun Rusia. Suriah pun hanya menyetujui adanya investigasi dari PBB atas insiden tersebut, dengan syarat tertentu.
Sementara itu, Wakil Duta Besar Rusia untuk PBB Vladimir Safronkov memperingatkan dampak negatif yang akan muncul jika Amerika Serikat melancarkan serangan militer terhadap Suriah. (Baca: Mayoritas Direktur Keuangan di AS Ingin Trump Setop 'Berkicau')
Perang sipil di Suriah terjadi sejak 2011. Ketika itu, demonstran pro-demokrasi melakukan penyisiran di negara tersebut menyusul kebangkitan negara-negara Arab. Para pengunjuk rasa pun melakukan perlawanan terhadap pemerintah, hingga akhirnya aksi berubah menjadi kerusuhan.
Sebetulnya, kelompok pemberontak lah, termasuk para pembelot militer Suriah, yang merencanakan perlawanan terhadap rezim Assad.
Situasi semakin rumit dengan kehadiran ISIS sebagai kelompok teroris di Suriah. Amerika dan para sekutunya melakukan perlawanan terhadap ISIS melalui serangan-serangan terhadap kelompok tersebut dan Al-Qaeda.