Banjir Stimulus setelah Jepang Cabut Status Darurat Corona

ANTARA FOTO/REUTERS/Kim Kyung-Hoon/Pool/hp/cf
Kim Kyung-Hoon/Pool Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe berbicara dalam sebuah konferensi pers tentang respon Jepang terhadap penyakit virus korona (COVID-19) di Tokyo, Jepang, Senin (25/5/2020).
Penulis: Pingit Aria
26/5/2020, 16.38 WIB

Pemerintah Jepang resmi mencabut status darurat nasional corona, Senin (25/5). Paket stimulus ekonomi kedua pun disiapkan.

"Kami memiliki kriteria yang amat ketat untuk mencabut status darurat. Kami telah menilai bahwa kami mencapai kriteria ini," kata Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, dikutip Kyodo.

Dibandingkan dengan area terdampak lain yang lebih parah di Eropa, Amerika Serikat, Rusia, dan Brazil, Jepang memiliki kondisi yang lebih baik. Jepang tercatat memiliki 16.581 kasus Covid-19 dengan jumlah korban jiwa ‘hanya’ 830 orang.

Sebelumnya, Abe menetapkan status darurat nasional akibat pandemi corona pada 7 April 2020 lalu untuk Kota Tokyo dan enam wilayah lain. Status darurat kemudian diperluas hingga ke seluruh wilayah Jepang setelah jumlah kasus mulai meningkat.

Sejak itu, pusat bisnis dan sekolah dipaksa untuk tutup dan masyarakat dianjurkan untuk tetap berada di rumah. Jepang tidak pernah benar-benar menerapkan lockdown karena tidak ada sanksi bagi pelanggar anjuran pemerintah.

(Baca: Beda Sikap Tiongkok & RI soal Utang untuk Stimulus Pandemi Corona)

Bagaimanapun, sebagian besar masyarakat Jepang dengan disiplin tinggi mematuhi anjuran untuk menahan diri tetap di rumah. Akibatnya, jalanan Tokyo dan beberapa metropolitan lain berubah menjadi sunyi.

Jumlah penularan Covid-19 pun merosot dari sekitar 700 kasus per hari pada masa puncak, menjadi puluhan kasus saja secara nasional.

Sejumlah dugaan dari kebiasaan masyarakat Jepang disebut menguntungkan mereka dalam mencegah penyebaran pandemi, seperti kebiasaan higienis dan sistem kesehatan yang amat baik, kebiasaan melepas sepatu kala masuk ruangan, dan saling menunduk alih-alih berjabat tangan. Abe memuji keberhasilan rakyatnya dalam melandaikan kurva kasus Covid-19 dengan “Cara Jepang".

Status darurat sebenarnya mulai dilonggarkan sejak pekan lalu, namun pemerintah memilih menunggu sembari mengamati situasi di kawasan Tokyo dan sekitarnya, begitu juga Hokkaido, sebagai kawasan paling terdampak.

Kini, setelah status darurat dicabut, dia memperingatkan masyarakat untuk mengadaptasi diri ke kehidupan new normal dan tetap menghindari "3 C". Ketiganya yaitu, closed space atau ruang tertutup, crowded place atau ruang ramai, dan close contact atau kontak jarak dekat.

"Bila kita melonggarkan perlindungan kita, infeksi akan menyebar amat cepat. Kita perlu waspada," kata Abe

Stimulus Ekonomi

Setelah mencabut status darudat nasional, Jepang akan kembali mengeluarkan paket stimulus senilai US$ 929 miliar atau setara Rp 13.656 triliun (asumsi kurs Rp 14.700 per dollar AS) guna meredam dampak ekonomi dari pandemi Covid-19.

Paket stimulus ini akan menjadi yang kedua, setelah sebelumnya Jepang menggulirkan stimulus senilai US$ 1,1 triliun pada April lalu. "Ekonomi Jepang berada dalam kondisi yang sangat parah dan kami harus segera keluar dari situasi ini," ujar Menteri Keuangan Jepang Taro Aso, dikutip dari Channel News Asia, kemarin.

(Baca: Tiongkok Mulai Berhasil, 7 Negara Ini Juga Kembangkan Vaksin Corona)

Lebih lanjut, paket stimulus kedua ini disiapkan untuk menyelamatkan perusahaan terdampak Covid-19. Melalui paket stimulus yang nilainya setara dengan 100 triliun yen tersebut, Jepang menggelontorkan 60 triliun yen sebagai kredit bagi lembaga keuangan. Kemudian, 27 triliun yen akan disisihkan untuk program bantuan keuangan lainnya, termasuk 15 triliun yen untuk program baru menyuntikkan modal ke perusahaan yang sakit.

Sebagai informasi, perekonomian Jepang telah memasuki fase resesi setelah dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonomi-nya berada di level negatif. Bahkan, analis memperkirakan perekonomian Jepang akan kembali terkontraksi 22% pada April-Juni akibat pandemi corona.

Bank of Japan (BOJ) pun memperluas stimulus moneter dan berjanji membeli sebanyak mungkin obligasi yang diperlukan untuk menjaga bunga pinjaman tetap nol. "Kerangka kebijakan kami dapat menjaga tingkat suku bunga jangka panjang dari kenaikan, bahkan jika pemerintah meningkatkan penerbitan obligasi," ujar Gubernur BOJ Haruhiko Kuroda.