Mutasi Baru Virus Covid-19, Lebih Menular Tapi Tidak Lebih Berbahaya

ANTARA FOTO/REUTERS/Pavlo Palamarchuk/hp/dj
Ilustrasi. Virus Covid-19 telah bermutasi dan membuatnya semakin mudah menginfeksi antar manusia.
Penulis: Sorta Tobing
3/7/2020, 16.39 WIB

Virus Covid-19 telah bermutasi dan membuatnya semakin mudah menginfeksi antar manusia. Direktur Institut Nasional untuk Penyakit Alergi dan Penyakit Menular Amerika Serikat, Anthony Fauci, mengatakan sebuah perubahan membuat asam amino spesifik dalam virus itu muncul dan membuatnya dapat bereplikasi lebih baik.

Penelitian soal mutasi ini masih berlangsung. Kabar tersebut muncul di tengah dunia masih berjuang melawan pandemi corona. Jumlah orang yang terinfeksi lebih 11 juta orang dan korban meninggal mencapai 524 ribu jiwa.

Fauci mengakui masih banyak perdebatan tentang temuan ini. Pasalnya, belum ada kejelasan apakah orang yang terinfeksi virus baru tersebut akan mengalami gejala lebih buruk dibandingkan virus aslinya. "Sepertinya virus itu bereplikasi lebih baik dan mungkin lebih menular," katanya, dikutip dari Bloomberg, Kamis (2/7).

Melansir dari Science Alert, variasi genetik Covid-19 saat ini mendominasi dunia ketimbang virus aslinya yang muncul di Tiongkok. Para peneliti dari AS dan Inggris mencoba menganalisis sampel genom yang ada. Mereka menemukan varian yang disebut D614G membuat perubahan kecil tapi kuat pada protein yang menonjol di permukaan virus. Bagian inilah yang dapat menyerang dan menginfeksi sel manusia.

(Baca: Pemerintah Awasi Potensi Penyebaran Flu Babi G4 di Indonesia)

Hasil penelitian itu kemudian terbit dalam situs bioRxiv pada April lalu. Awalnya, banyak kritik muncul karena para ilmuwan tidak dapat membuktikan mutasi tersebut bertanggung jawab atas peningkatan infeksi antar manusia. Banyak yang menduga, bisa jadi virus diuntungkan oleh faktor lainnya.

Tim peneliti kemudian melakukan percobaan tambahan. Mereka menganalisis data 999 pasien Covid-19 di Inggris. Varian D614G ternyata lebih banyak ditemukan, tapi tidak berpengaruh terhadap tingkat keparahan penyakitnya.

Hasil laboratorium menunjukkan varian virus itu tiga hingga enam kali lebih mampu menginfeksi sel manusia. Tapi para ahli belum sepakat apakah D614G menjadi penyebab lonjakan besar kasus virus corona secara global.

Ahli virus Yale School of Public Health Nathan Grubaugh, yang tidak terlibat dalam penelitian itu, berpendapat hasil ini tidak berpengaruh terhadap masyarakat umum. "Ini lebih merupakan pandangan langsung ke dalam sains yang sedang berlangsung. Sebuah penemuan menarik, tetapi kita belum tahu cakupan penuh atau dampaknya,” ujar Grubaugh.

(Baca: Positif Corona RI Bertambah 1.301 Kasus, Terbanyak dari Jatim & Sulsel)

Ilustrasi. Petugas medis menangani pasien Covid-19. (ANTARA FOTO/REUTERS/Lucy Nicholson/AWW/dj)

WHO Desak Beberapa Negara Lakukan Lockdown

Organisasi kesehatan dunia (WHO) menilai negara-negara dengan penyebaran virus corona yang tinggi harus kembali melakukan karantina wilayah atau lockdown. Kepala Unit Penyakit dan Zoonosis WHO Dr Maria Van Kerkhove mengatakan munculnya gelombang kedua Covid-19 akan memaksa mereka nemepuh langka tersebut.

Meski WHO tidak menyebut negara yang dimaksud, potensi meningkatnya lagi kasus corona mulai menjadi sorotan. Beberapa hari lalu Australia terpaksa melakukan karantina terhadap wilayah di luar Kota Melbourne karena Covid-19 merebak lagi.

Tiongkok juga melakukan langkah serupa terhadap beberapa lokasi di Beijing karena meningkatnya kasus positif. "Mereka memiliki pengalaman langsung tentang betapa berbahayanya patogen seperti ini," kata Van Kerkhove.

(Baca: Corona Meluas Cepat, WHO Ingatkan Beberapa Negara Perlu Lockdown Lagi)

WHO juga meminta pemimpin negara-negara yang terdampak corona lagi segera memecahkan masalah ini. Apalagi saat ini belum terlambat untuk memutus rantai penularan penyakit pernapasan itu. “Belum terlambat untuk menggunakan pendekatan komprehensif ini,” katanya.

Lonjakan Kasus Virus Corona di Berbagai Negara

Dalam sepekan terakhir terjadi lonjakan kasus virus corona di berbagai negara. Indonesia salah satunya. Seperti terlihat dari grafik Databoks di bawah ini angka kasusnya harian naik dibandingkan pekan sebelumnya.

Kemarin, Jepang mengonfirmasi jumlah kasus tertinggi di Tokyo dalam dua bulan terakhir. Jumlah kasusnya adalah 107 orang. Lonjakan kasus tersebut mengejutkan karena kota dengan penduduk 14 juta orang itu biasanya hanya melaporkan 20 kasus per hari pada pekan-pekan sebelumnya.

Tapi pelan-pelan angkanya mulai naik pada pekan lalu di 50 kasus per hari. Pada Rabu lalu melonjak jadi 67 kasus. Kejadian ini terjadi setelah pemerintah Jepang mencabut status darurat pandemi pada 25 Mei 2020.

(Baca: WHO Sebut Dunia Alami Krisis Pasokan Oksigen Karena Corona )

Amerika Serikat yang menempati posisi teratas jumlah kasus secara global, yaitu 2,8 juta pasien, mencatat rekor pekan ini. Pada 1 Juli, negara adidaya itu mencatat jumlah kasus tertinggi secara harian dalam skala global, yaitu 51,2 ribu kasus dalam 24 jam.

Brazil yang posisinya berada di nomor dua setelah AS juga mencetak rekor kemarin. Jumlah kasusnya per harinya mencapai 48,1 ribu pasien. Total kasus Covid-19 di negara tersebut mencapai 1,5 juta orang.