Selandia Baru jadi Negara Terbaik Hadapi Covid-19, RI di Posisi 19

ANTARA FOTO/REUTERS/Phil Noble/WSJ/dj
Foto Phil Noble. Warga melambaikan tangan dari jendela di Manchester, Inggris, Minggu (27/9/2020). Bloomberg menyebut Selandia Baru sebagai negara dengan penanganan Covid-19 terbaik.
30/11/2020, 14.17 WIB

Pandemi corona telah berlangsung hampir satu tahun. Sejumlah negara berhasil menangani pandemi dengan baik, namun yang lainnya justru semakin memburuk.

Bloomberg pun membuat rangking negara terbaik dan terburuk dalam menangani pandemi Covid-19. Rangking tersebut dibuat berdasarkan penanganan paling efektif dan gangguan paling sedikit terhadap bisnis dan masyarakat.

Peringkat ketahanan terhadap Covid-19 juga memperhitungkan negara dengan nilai ekonomi lebih dari US$ 200 miliar. Berdasarkan hal tersebut, terdapat 10 metrik utama, yaitu pertumbuhan kasus virus hingga tingkat kematian keseluruhan, kapasitas sistem perawatan kesehatan lokal,  dampak pembatasan sosial terhadap ekonomi dan kebebasan bergerak warga, serta kemampuan pengujian dan perjanjian pasokan vaksin.

Dengan memberi peringkat akses terhadap vaksin, Bloomberg ingin memberikan gambaran tentang pergerakan ekonomi yang dapat berubah di masa depan. Peringkat yang ada saat ini pun dapat berubah ketika negara-negara mengubah strategi, cuaca bergeser, dan perlombaan untuk mendapatkan vaksinasi yang layak semakin meningkat.

Adapun perhitungan berdasarkan data pada 24 November 2002 menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat 19 dengan nilai 66,1 . Indonesia berada tepat di bawah Amerika Serikat (AS) yang terus mencatatkan tingkat jumlah kasus dan kematian tertinggi di dunia.

Bloomberg mencatat Indonesia memiliki 42 kasus per 100.000 penduduk dalam satu bulan terakhir dengan tingkat tes positif mencapai 12,5%. Selain itu, jumlah orang yang meninggal per 1 juta penduduk mencapai 58 orang dengan tingkat kematian sebesar 2,4%.

Dibandingkan 20 negara teratas, tingkat kematian Indonesia paling tinggi. Di sisi lain, Indonesia memiliki empat kerja sama untuk memperoleh vaksin. 

Indonesia pun masih kalah dari negara Asia Tenggara lain seperti Vietnam yang menempati posisi 10 dengan nilai 74,3 dan Singapura di posisi 11 dengan 74,2. Sedangkan posisi pertama di tempati oleh Selandia Baru dengan 85,4.

Bloomberg menyebut Selandia baru berhasil menangani pandemi karena mampu membuat keputuan yang tegas dan cepat. Negara kepulauan kecil itu telah melaksanakan lockdown sejak 26 Maret 2020, sebelum ada satu pun kasus kematian akibat Covid-19.

Negara tersebut juga cukup berani menutup perbatasan meskipun ekonominya tergantung pada pariwisata. Perdana Menteri Jacinda Ardern menegaskan bahwa pemerintahannya menerapkan strategi peningkatan pengujian, pelacakan kontak, dan karantina terpusat untuk memutus mata rantai virus corona.

Strategi tersebut berhasil karena mayoritas penduduk Selandia Baru saat ini hidup tanpa Covid-19. Hanya segelintir orang yang masih terinfeksi virus corona dalam beberapa bulan terakhir.  Sehingga pemerintahnya telah mengizinkan kembali acara musik dan acara sosial berskala besar. 

Di sisi lain, meskipun sudah kembali hidup normal, Selandia Baru tetap memesan vaksin Covid-19 dari sejumlah perusahaan farmasi. Salah satunya vaksin dari Pfizer Inc. dan BioNTech SE Jerman.

Peringkat kedua di tempati Jepang dengan nilai 85. Negara tersebut dianggap berhasil menangani pandemi meskipun tidak memberlakukan karantina wilayah yang ketat.

Negara sakura itu justru mengatasi pandemi berdasarkan pengalaman dalam menangani tuberkulosisi di masa lalu. Dengan sistem kesehatan publik yang bagus, negara tersebut melaksanakan pelacakan kontak yang cepat terhadap kasus Covid-19.

Selain itu, tingkat kepercayaan dan kepatuhan sosial yang tinggi menyebabkan masyarakat Jepang memiliki kedisiplinan dalam menggunakan masker dan menghindari tempat keramaian.  Negara berpenduduk lebih dari 120 juta orang itu pun hanya memiliki 331 kasus serius Covid-19 saat ini. Sedangkan Perancis yang memiliki populasi setengah dari Jepang, memiliki hampir 5.000 pasien virus dalam perawatan intensif.

Kemampuan Jepang untuk menghindari kematian meskipun memiliki populasi tertua di dunia juga cukup tinggi. Meski begitu, negara tersebut tetap mengamankan vaksin dengan menjalin kerja sama dengan empat perusahaan farmasi, termasuk kandidat terdepan yang menggunakan teknologi mRNA revolusioner.

Pada posisi ketiga ditempati Taiwan yang diuntungkan karena berdekatan dengan Tiongkok, negara yang menajdi pusat pandemi Covid-19.  Pemerintah Taiawan sejak awal telah mendengar adanya penyebaran virus yang mengkhawatirkan di Wuhan.

Hal itu memampukan Taiwan bergerak lebih cepat untuk mengawasi perbatasan. Negara itu juga membuat aplikasi yang memuat informasi terkait persediaan masker dan daftar lokasi kasusi nfeksi Covid-19.

Dengan tindakan cepat dan penggunaan teknologi, Taiwan mampu bertahan tanpa kasus baru selama lebih dari 200 hari. Kehidupan sebagian besar masyarakatnya juga telah kembali normal, meskipun perbatasan tetap ditutup. Namun, keberhasilan Taiwan belum sempurna karena negara itu gagal menandatangani kesepakatan bilateral untuk memperoleh vaksin.

Lockdown Jadi Strategi Utama Penanganan Covid-19

Mayoritas 10 negara teratas mempelopori dan mencontoh strategi paling efektif untuk memerangi Covid-19, yaitu pengendalian perbatasan yang dimulai oleh Tingkok di Provinsi Hubei. Strategi tersebut telah melindungi seluruh negara dari infeksi.

Selain itu, Tiongkok melaksanakan pengujian massal mulai dari kasus pertama dan karantina wajib selama 14 hari bagi para pelancong. Pembatasan wilayah yang ketat juga diterapkan Finlandia dan Norwegia yang masuk dalam 1o besar.

Kedua negara telah menutup perbatasannya dari orang luar sejak pertengahan Maret 2020. Meskipun mereka merupakan bagian dari wilayah Schengen yang bebas paspor Eropa.

Dengan cara tersebut, negara-negara Eropa peringkat teratas berhasil menghindari lonjakan kasus, seperti yang melanda negara-negara seperti Perancis, Inggris, dan Italia akiabt memperbolehkan perjalanan liburan musim panas.

Pengujian dan pelacakan yang efektif merupakan ciri khas dari hampir semua 10 teratas. Seperti Korea Selatan yang menempati posisi keempat.

Negara tersebut juga memperbanyak alat diagnosa dalam beberapa minggu setelah munculnya virus. Bahkan memelopori pengujian tes Covid-19 dengan cara drive-through.

Negara itu juga memiliki pasukan pelacak kontak yang cepat yang mencari kelompok kasus Covid-19 berdasarkan catatan kartu kredit dan rekaman kamera pengintai. Selain itu, Korea Selatan dan negara Asia lain seperti Jepang, dan Pakistan telah belajar dari pengalaman menangani epidemi MERS pada 2015 dan wabah SARS pada 2003.

Di sisi lain, beberapa negara demokrasi paling terkemuka di dunia justru mencatatkan kinerja yang buruk, seperti AS, Inggris, dan India yang kontras dengan keberhasilan negara-negara otoriter seperti Tiongkok dan Vietnam. Hal itu menimbulkan pertanyaan apaah masyarakat demokratis cocok untuk mengatasi pandemi.

Namun, Bloombger mencatat delapan dari 10 negara teratas dalam penanganan pandemi merupakan negara demokrasi. Keberhasilan dalam menahan Covid-19 dengan gangguan paling sedikit tampaknya tidak terlalu bergantung pada sistem politik suatu negara, tetapi pada pemerintahan yang memapu meningkatkan kepercayaan dan kepatuhan masyarakatnya.

Ketika warga memiliki kepercayaan pada otoritas dan bimbingan pemerintah, karantina mungkin tidak diperlukan sama sekali. Seperti yang ditunjukkan oleh Jepang, Korea dan, Swedia.

Selandia Baru juga menekankan komunikasi sejak awal. Dengan sistem peringatan empat tingkat yang memberi orang gambaran yang jelas tentang bagaimana dan mengapa pemerintah akan bertindak saat wabah berkembang.

Di sisi lain, Pejabat Penyakit Menular Utama AS, Anthony Fauci, mengatakan investasi dalam infrastruktur kesehatan masyarakat juga penting. Terutama terkait sistem pelacakan kontak, pengujian yang efektif, dan pendidikan kesehatan yang mendukung sosialisasi cuci tangan dan pemakaian masker wajah.

"Itu merupakan kunci untuk menghindari karantina wilayah yang melumpuhkan ekonomi." ujar Fauci dikutip dari Bloomberg pada Senin (30/11).

Masyaraakt yang padu juga membantu penanganan pandemi. Hal itu tercermin dalam masyarakat Jepang dan Skadinavia. "Masyarakat tersebut sangat sedikit ketidaksetaraan dan menerapkan kedisiplinan dalam bermasyarakat. Itulah mengapa mereka berada di puncak,” kata Alan Lopez, Profesor dan Direktur Grup Penyakit Global Universitas Melbourne.

Negara-negara dengan Penanganan Covid-19 yang Buruk


Kurangnya tanggapan yang efektif terhadap virus corona oleh AS telah menjadikan negara tersebut pusat perkembangan pandemi paling tinggi di dunia. Negara adidaya tersebut mejadi nomor satu dalam jumlah kasus dan kematian akibat virus corona. 

Hal itu merupakan hasil dari lambatnya pemeritnah AS merespon pandemi corona. Selain itu, kurangnya peralatan medis dan pasokan Alat Pelindung Diri (APD), tidak adanya koordinasi dalam upaya tes dan pelacakan, serta politisasi penggunaan masker menjadikan AS .

Administrasi Presiden Donald Trump yang akan keluar dari Gedung Putih justru fokus pada vaksin. Sekitar US$ 18 miliar dialokasikan untuk pengembang vaksin yang dikenal sebagai Operation Warp Speed.

Fokus tunggal tersebut meningkatkan AS pada peringkat 18. Namun, kemanjuran luar biasa dari vaksin mRNA eksperimental, yang mendapat izi penggunaan darurat di AS pada awal bulan depan, dapat menandai titik balik penanganan pandemi negara tersebut.

AS telah memesan dosis paling banyak di dunia dengan lebih dari 2,6 miliar. Hal itu berdasarkan perjanjian pasokan potensial dan final yang dilacak oleh para peneliti dari Duke Global Health Innovation Center.

Namun, tantangan monumental dalam mendistribusikan vaksin ke seluruh negeri tetap ada. "Dalam kasus AS, satu-satunya hal yang telah mereka lakukan dengan baik yaitu mendanai lebih banyak R&D, tidak hanya untuk perusahaan yang berbasis di AS, tetapi untuk perusahaan di seluruh dunia, termasuk Eropa," kata Bill Gates di Forum Ekonomi Baru Bloomberg bulan ini. 

Meski begitu, keunggulan AS terhadap vaksin tidak dimiliki negara di Amerika Latin, wilayah yang paling hancur akibat pandemi. Negara-negara di wilayah tersebut pun mengisi paruh bawah peringkat Bloomberg dengan Meksiko bernasib terburuk di posisi 53.

Tingkat tes yang tersedia di negara tersebut hanya mencapai 62%. Hal itu menunjukkan infeksi yang tidak terdeteksi telah tersebar luas. Pejabat Meksiko telah mengakui bahwa jumlah kematian di negara itu kemungkinan besar secara signifikan lebih tinggi daripada data resmi, karena pengujian yang terbatas.

Selanjutnya Brasil yang berada di peringkat ke-37. Negara tersebut mencatatkan kasus tertinggi ketiga di dunia. 

Direktur Program Amerika Latin di Washington D.C. Wilson Center, Cynthia Arnson,  mengatakan Presiden Brasil Jair Bolsonaro dan Andres Manuel Lopez Obrador dari Meksiko bertingkah seperti Trump yang berulang kali meremehkan ancaman virus corona. Pendekatan kepemimpinan yang angkuh itu, ditambah kurangnya jaring pengaman sosial dan sistem kesehatan masyarakat yang kuat, telah memperburuk krisis Covid-19 di negara merkea.

Amerika Latin merupakan wilayah paling urban di dunia, dan sebagian besar penduduknya hidup dalam kondisi padat di mana sulit menerapkan jarak sosial. Tingginya proporsi orang yang mengandalkan pekerjaan informal dan upah harian membuat hanya sedikit yang bersedia tinggal di rumah.

“Kesenjangan besar antara layanan kesehatan publik dan swasta telah terjadi di wilayah tersebut, seperti juga bentuk ketimpangan lainnya, termasuk dalam pendidikan,” kata Arnson.

Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan