Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan adanya kasus kematian pertama akibat virus Marburg (MVD) di Guinea, Afrika Barat, pada 2 Agustus 2021. Virus ini disebut memiliki tingkat fatalitas kasus hingga 88%.
Penyakit virus Marburg awalnya terdeteksi pada 1967, Setelah wabah simultan di Marburg dan Frankfurt di Jerman serta Beograd, Serbia. Virus ini menyebabkan demam berdarah yang parah pada manusia.
WHO kini berusaha mencegah wabah serupa terjadi, dengan mempertahankan pengawasan untuk penyakit virus Marburg. Organisasi ini juga mendorong negara-negara berisiko untuk menyusun strategi pencegahan. “Perlu kesiapsiagaan, kewaspadaan, pengendalian, dan evaluasi,” kata WHO, Senin (9/8).
Apa Gejala Virus Marburg?
Melansir dari situs WHO, masa inkubasi dari infeksi hingga timbulnya gejala virus Marburg bervariasi, antara dua hingga 21 hari. Gejalanya pun muncul secara tiba-tiba.
Awal gejalanya adalah demam tinggi, sakit kepala parah, dan malaise (rasa lelah dan tidak enak badan) parah. Berikutnya, nyeri otot dan nyeri badan lainnya. Lalu, pada hari ketiga penderita akan mengalami diare berair yang parah, sakit perut dan kram, mual dan muntah.
“Pada fase ini, pasien digambarkan “seperti hantu”. Wajah akan terlihat tanpa ekspresi, mata cekung dan mengalami kelesuan ekstrem,” tulis WHO pada laman resminya pada 7 Agustus 2021.
Pada wabah 1967, antara hari ke dua dan tujuh setelah terinfeksi, kebanyakan pasien mengalami ruam yang tidak gatal. Gejala lanjutan terjadi antara hari ke lima dan tujuh. Banyak pasien mengalami manifestasi perdarahan yang parah.
Darah dapat keluar melalui muntahan, feses, hidung, gusi, hingga vagina (pada wanita). “Terkadang, perdarahan spontan juga terjadi pada lokasi infus atau pengambilan sampel darah,” tulis WHO.
Kemudian, pada gejala akhir di hari ke-15, virus Marburg dapat menimbulkan masalah pada sistem saraf pusat. Penderita dapat merasa kebingungan, lekas marah, dan agresif. Terkadang, orkitis atau peradangan pada testis pasien pria juga dilaporkan terjadi dalam fase ini.
Dalam kasus yang fatal, kematian paling sering terjadi antara hari kedelapan dan sembilan setelah timbulnya gejala. Biasanya didahului dengan kehilangan darah yang parah dan syok.
Apa Pengobatan Virus Marburg?
WHO mengatakan, saat ini tidak ada vaksin atau perawatan antivirus yang disetujui untuk pengobatan penyakit MVD. Namun, pasien dapat menerima perawatan suportif yang meningkatkan kelangsungan hidup. “Rehidrasi dengan cairan oral atau intravena dan pengobatan gejala spesifik,” tulis WHO.
Penggunaan obat Remdesivir dan Favipiravir disebut akan diuji untuk pengobatan virus ini. Sebelumnya, kedua obat tersebut telah digunakan dalam studi klinis untuk penyakit virus Ebola (EVD).
Pada Mei 2020, Badan Kesehatan Eropa (EMA) memberikan izin pemasaran kepada vaksin Zabdeno (Ad26.ZEBOV) dan Mvabea (MVA-BN-Filo) terhadap EVD. Vaksin itu disebut berpotensi melindungi manusia terhadap MVD, tetapi belum terbukti secara klinis.
Risiko Kematian yang Besar
Virus yang dibawa oleh kelelawar ini memiliki tingkat fatalitas kasus hingga 88%. Menurut WHO, rata-rata tingkat kematian kasus akibat virus Marburg sekitar 50%. Pada wabah sebelumnya, tingkat kematian kasus bervariasi, dari 24% hingga 88%.
“Tingkat kematian bergantung pada jenis virus dan manajemen kasus. Tetapi bisa jauh lebih rendah dengan perawatan pasien yang baik,” kata WHO.
Mengutip AFP, WHO mengumumkan adanya potensi virus Marburg menyebar lebih luas. “Kita harus menghentikannya,” kata Direktur Regional WHO Afrika dokter Matsihidiso Moeti, Selasa lalu.
Penemuan ini kasus kematian terjadi sekitar dua bulan setelah WHO mengumumkan berakhirnya wabah Ebola gelombang kedua di Guinea. Sebagai informasi, Ebola kembali mewabah pada 2020 lalu dan menewaskan 12 nyawa.
Sementara itu, para pejabat WHO di kantor pusat berpendapat, penyakit virus Marburg adalah ancaman tinggi tingkat nasional dan regional. Tapi, penyebarannya secara global rendah.
Seperti Apa Penularan Virus Marburg?
Awalnya, infeksi virus Marburg pada manusia terjadi akibat kontak yang terlalu lama dengan tambang atau gua, yang dihuni oleh koloni kelelawar Rousettus.
Marburg menyebar melalui penularan dari manusia ke manusia melalui kontak langsung. Kontak dengan cairan tubuh orang terinfeksi, juga permukaan dan bahan yang terkontaminasi.
Pada wabah 1967, petugas kesehatan yang merawat pasien seringkali ikut terinfeksi. Pencegahan dan pengendalian infeksi perlu dilakukan secara ketat. Bahkan, kontak langsung dengan tubuh pasien meninggal juga dapat berkontribusi dalam transmisi virus ini.
Menurut WHO, pasien terinfeksi tetap dapat menularkan virus, selama darah mereka masih mengandung virus. Virus Marburg diketahui bertahan di tempat yang memiliki kekebalan khusus. Di antaranya termasuk pada testis dan bagian dalam mata.
Penyumbang bahan: Alfida Febrianna (magang)