Perang Makin Sengit, Indonesia dan Banyak Negara Eksodus dari Sudan
Pertempuran sengit di Khartoum, Sudan, membuat banyak negara mengevakuasi diplomat dan warga negaranya. Pemerintah Indonesia pada tahap pertama mengevakuasi 538 warga negara Indonesia (WNI) dari Sudan melalui Jeddah, Arab Saudi.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi meminta WNI yang masih berada di Sudan untuk melaporkan diri ke KBRI Khartoum untuk segera dievakuasi ke Tanah Air.
"Mohon agar segera melaporkan keberadaannya ke KBRI Khartoum agar juga dapat dilakukan evakuasi pada tahap kedua,” kata Retno ketika menyampaikan pernyataan pers secara daring mengenai evakuasi WNI dari Sudan, Senin (24/4).
Pada evakuasi tahap pertama, WNI yang dievakuasi itu terdiri dari 273 perempuan, 240 laki-laki, dan 25 balita.
Sebelum diberangkatkan ke Jeddah melalui jalur laut untuk kemudian dipulangkan ke Tanah Air, mereka dibawa dan tiba di Kota Port Sudan pada Senin pukul 01.00 dini hari waktu setempat.
WNI yang dievakuasi sebagian besar adalah mahasiswa Indonesia, pekerja migran Indonesia, karyawan perusahaan Indofood, dan staf KBRI beserta keluarganya.
Rombongan tersebut berangkat dari Khartoum pada Minggu (23/4) pukul 08.00 waktu setempat. Mereka disebutkan menempuh perjalanan selama 15 jam ke Port Sudan melalui kota Atbara, Damir, Mismar, dan Sawakin.
Negara-negara Evakuasi Warga
Beberapa negara juga sudah mengevakuasi warga negaranya. Pada Minggu (23/4), Amerika Serikat dan Inggris mengumumkan bahwa telah menerbangkan diplomat ke luar negeri.
Prancis, Jerman, Italia, dan Spanyol juga telah mengevakuasi diplomat dan warga negaranya.
Otoritas AS mengatakan mereka telah menerbangkan kurang dari 100 orang dengan tiga helikopter Chinook pada Minggu pagi (23/4) dalam operasi "fast and clean".
Kedutaan Besar AS di Khartoum ditutup. Dalam sebuah tweet di feed resminya mengatakan tidak cukup aman bagi pemerintah untuk mengevakuasi warga negara AS.
Pemerintah Inggris berhasil menerbangkan diplomat Inggris dan keluarga mereka ke luar negeri dalam operasi yang "complex and rapid".
Menteri Luar Negeri Inggris James Cleverly mengatakan opsi untuk mengevakuasi warga negara Inggris yang tersisa di Sudan sangat terbatas.
Adapun, menurut pembaruan dari kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, lebih dari 1.000 warga Uni Eropa telah dibawa keluar dari Sudan, Senin pagi (24/4).
Sebelumnya, lebih dari 150 orang yang mayoritas adalah warga negara teluk seperti Mesir, Pakistan, dan Kanada. Dievakuasi melalui laut ke pelabuhan Jeddah di Arab Saudi.
Rute Keluar Sudan Berisiko
Antrean panjang kendaraan dan bus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terlihat meninggalkan Khartoum pada Minggu (23/4). Seorang pengungsi Sierra Leone mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa kendaraan PBB menuju ke timur yakni Port Sudan di Laut Merah dan membawa "warga negara dari seluruh dunia".
Diplomat Afrika Selatan Clayson Monyela mengatakan pertempuran yang sedang berlangsung membuat semua rute keluar dari Khartoum "berisiko dan berbahaya".
"Bandara tetap ditutup, pertempuran berlanjut," kata Clayson kepada BBC, dikutip oleh Katadata.co.id, Senin (24/4). "Inilah mengapa kami terus menyerukan gencatan senjata untuk memungkinkan jalan yang aman bagi mereka yang ingin keluar dan mengizinkan bantuan kemanusiaan."
Ada banyak permintaan bantuan dari banyak mahasiswa asing, khususnya dari Afrika, Asia dan Timur Tengah yang juga terjebak di Khartoum. Khartoum adalah sebuah kota berpenduduk sekitar enam juta orang.
Sebuah asosiasi mahasiswa Nigeria di Sudan meminta pemerintahnya untuk melakukan "misi penyelamatan segera". Ia mengatakan banyak mahasiswa telah memilih untuk melarikan diri.
Sedangkan kelompok pemantau internet NetBlocks mengatakan Sudan berada di tengah "pemadaman internet". Negara itu memiliki konektivitas pada 2% dari tingkat biasa, yang dapat secara serius menghambat koordinasi bantuan bagi mereka yang terjebak di Khartoum dan kota-kota lain.
Perebutan kekuasaan telah menyaksikan pemboman besar-besaran di ibu kota, dengan ratusan tewas dan ribuan lainnya terluka.
Penembakan dan pengeboman yang hampir terus-menerus di Khartoum dan tempat lainnya mengakibatkan aliran listrik dan akses yang aman ke makanan dan air bagi sebagian besar penduduk terputus.
Beberapa gencatan senjata yang tampaknya telah disetujui oleh kedua belah pihak diabaikan, termasuk jeda tiga hari untuk menandai hari raya Idul Fitri, yang dimulai pada hari Jumat.
Pada Minggu, AS mengumumkan tim tanggap bencana akan dikirim ke daerah itu untuk mengoordinasikan tanggapan kemanusiaan bagi yang membutuhkan. Baik di dalam maupun di luar Sudan.
Samantha Power dari Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) mengatakan tim tersebut akan bekerja di Kenya pada awalnya, dan memprioritaskan mendapatkan "bantuan kemanusiaan yang menyelamatkan jiwa bagi mereka yang paling membutuhkannya."
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan pertempuran itu telah menewaskan lebih dari 400 orang dan melukai ribuan lainnya. Namun jumlah korban tewas diyakini jauh lebih tinggi karena orang berjuang untuk mendapatkan perawatan kesehatan, sementara sebagian besar rumah sakit kota terpaksa ditutup akibat pertempuran.
Bersamaan dengan Khartoum, wilayah barat Darfur di mana tempat RSF pertama kali muncul, juga terkena dampak buruk pertempuran.
Sementara itu, PBB telah memperingatkan bahwa hingga 20.000 orang yang kebanyakan wanita dan anak-anak, telah meninggalkan Sudan untuk mencari keselamatan di Chad, di seberang perbatasan dari Darfur.