6 Warisan Budaya Indonesia yang Telah Ditetapkan Pemerintah

Batang/Jateng/Roza/Jumadi/berita.batangkab.go.id
Dua Siswa penyandang disabilitas menari, tari merak dalam Peringatan Hari Disabilitas Internasional Tahun 2019 di Halaman Kantor Bupati Batang, Jumat (6/12).
8/9/2021, 13.42 WIB

Masyarakat Indonesia terdiri atas aneka ragam ras, etnik, kebudayaan, agama, dan bahasa. Keanekaragaman tersebut melahirkan berbagai warisan budaya yang tumbuh dan berkembang.

Warisan budaya adalah keseluruhan peninggalan kebudayaan yang memiliki nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan/atau kesenian. Budaya ini dimiliki bersama oleh seluruh masyarakat dan dilestarikan melalui perkembangan dari generasi ke generasi.

Pada tahun 2003, Indonesia meratifikasi Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage sehingga wajib melakukan pencatatan seluruh budayanya sebagai upaya perlindungan dan pelestarian.

Dalam konvensi tersebut, beberapa warisan budaya Indonesia termasuk dalam warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage). Artinya, warisan budaya ini hidup yang memiliki unsur filosofis dan sifatnya dapat berlalu dan hilang dalam waktu seiring perkembangan zaman. Contohnya adalah bahasa, musik, tari, upacara, serta berbagai perilaku terstruktur lain.

Dari data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Indonesia telah menetapkan daftar warisan budaya tak benda. Pada 2020, terdapat total 9.770 warisan budaya yang dicatat dan 1.086 di antaranya telah ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda. Berikut ini adalah warisan budaya Indonesia yang telah ditetapkan pemerintah.

1. Toge Panyabungan

Toge panyabungan adalah budaya Indonesia dalam bentuk makanan khas dan asli dari Kota Panyabungan, Sumatera Utara. Awalnya, makanan ini disajikan di sore hari menjelang waktu berbuka puasa. Panganan ini menjadi khas masyarakat Mandailing karena rasanya yang manis dan sesuai untuk menghilangkan rasa dahaga.

Saat ini, toge panyabungan mudah dijumpai di kota Panyabungan walaupun di luar bulan suci Ramadan. Pada saat berkunjung atau melewati kota tersebut, di pasar tradisionalnya, seperti Pasar Lama atau Pasar Baru Panyabungan, hidangan ini dapat ditemui dengan mudah.

Toge panyabungan merupakan hidangan favorit kebanyakan masyarakat Mandailing. Bahannya terdiri campuran dari lupis, pulut hitam, tapai pulut putih, bulatan-bulatan kecil sebesar biji salak (candil) yang disiram dengan kuah cendol bersantan, dan gula aren yang sudah dicairkan dengan campuran daun pandan. Saat Ramadan, akan lebih banyak ditemukan pedagang makanan ini, tak hanya di pasar-pasar tradisional tetapi juga di sepanjang jalan di Kota Panyabungan.

2. Pencak Silat

Pencak silat lebih dikenal sebagai jenis seni bela diri. Budaya Indonesia ini telah diturunkan dari generasi ke generasi. Selain aspek olahraga, tradisi pencak silat juga meliputi aspek mental-spiritual, bela diri, dan seni.

Istilah "pencak" lebih dikenal di Jawa, sedangkan istilah "silat" atau "silek" lebih dikenal di Sumatera Barat, untuk menyebut kelompok pencak silat yang memiliki banyak persamaan.

Selain menggunakan istilah lokal, setiap daerah memiliki jurus, gaya, musik pengiring, dan peralatan pendukung yang unik. Gerakan dan gaya dalam pencak silat sangat dipengaruhi oleh berbagai unsur seni.

Gerak dan gaya tersebut merupakan satu kesatuan gerak badan (wiraga), gerak perasaan (wirasa), dan gerak sesuai dengan musik pengiring (wirama). Perlengkapan pendukung pencak silat meliputi kostum, alat musik, dan senjata tradisional.

Praktisi pencak silat diajarkan untuk menjaga hubungannya dengan Tuhan, manusia, dan alam. Para praktisi ini juga dilatih dalam berbagai teknik untuk menghadapi serangan atau situasi berbahaya lainnya berdasarkan prinsip untuk melindungi dirinya sendiri dan orang lain, menghindari menyakiti pelaku, dan membangun persahabatan.

Makna budaya pencak silat yang erat kaitannya dengan identitas pribadi masing-masing perguruan dan setiap anggotanya berbeda-beda. Pilihan iringan, termasuk alat musik, jenis musik, cerita, dll, serta pilihan kostum sangat penting dalam mengembangkan identitas pribadi tersebut.

3. Tari Merak Sunda

Tari merak merupakan budaya Indonesia dalam bentuk tarian tradisional Sunda asal Kota Bandung, Jawa Barat. Penciptanya adalah Raden Tjetje Somantri pada 1955. Gerakan tarian ini merupakan pengembangan dari gaya tari Sunda terinspirasi oleh gerak burung merak jantan.

Mulanya, penciptaan tarian ini bertujuan untuk menghibur para delegasi Konferensi Asia Afrika dalam acara resepsi di Bandung pada 1955. Sepeninggal Tjetje Somantri pada  1963, Irawati Durban sebagai muridnya menyempurnakan tatanan tari merak dengan mengolah koreografinya.

Saat ini, Tari Merak Sunda tidak hanya sebagai seni pertunjukan yang ditampilkan di atas panggung saja, tetapi telah sering menjadi bagian dari berbagai prosesi seremonial. Selain kegiatan seremonial yang besar, Tari Merak Sunda pun dipertunjukan pada prosesi mapag pengantin sejak tahun 1988.

4. Tari Gubang

Tari gubang adalah budaya Indonesia dalam bentuk tarian tradisional masyarakat Melayu Asahan, Sumatera Utara. Fungsi dari tarian ini disesuaikan dengan kebutuhannya. Dahulu, tari gubang berfungsi sebagai sarana pemanggil angin (unsur magis), yaitu sejenis ritual untuk memanggil angin untuk aktivitas para nelayan.

Selain fungsi tersebut, tarian gubang merupakan tarian hiburan sebagai sarana melepas penat bagi masyarakat pesisir setelah seharian mengarungi laut lepas dengan berbagai tantangannya. Seiring berjalannya waktu, fungsi Tari Gubang semakin berkembang.

Ketika tarian ini mulai dipentaskan maka fungsi utamanya adalah sebagai hiburan bagi masyarakat nelayan. Selain itu, berfungsi pula untuk menyambut tamu dalam upacara adat masyarakat seperti perayaan, pesta perkawinan, penyambutan tamu kehormatan, dan juga proses pengobatan.

5. Dugderan

Dugderan adalah budaya Indonesia yang berawal pada tahun 1881 di Kota Semarang, Jawa Tengah. Ketika itu Bupati Kyai Raden Mas Tumenggung (KRMT) Purbaningrat sedang mengembangkan tradisi berupa arak-arakan menyambut datangnya Ramadan atau bulan puasa.

Tepat sehari menjelang Ramadan, masyarakat akan memukul bedug Masjid Besar Kauman disusul dengan penyulutan meriam di halaman pendopo kabupaten di Kanjengan. Bedug mengeluarkan bunyi “dug” dan meriam mengeluarkan bunyi “der” yang berkali-kali sehingga menjadi istilah Dugderan.

Tradisi ini masih dilestarikan dengan tujuan untuk mengumpulkan masyarakat dalam suasana suka cita untuk bersatu, berbaur, dan bertegur sapa tanpa pembedaan. Selain itu, Dugderan menandakan awal Ramadan secara jelas dan serentak.

Prosesi tradisi Dugderan terdiri dari tiga agenda yakni pasar malam,  pengumuman awal puasa, dan kirab budaya Warak Ngendok. Tiga agenda tersebut yang sekarang menjadi satu kesatuan dalam tradisi Dugderan.

6. Lomban

Lomban dapat diartikan lomba yaitu budaya Indonesia di daerah Jepara, Jawa Tengah. Pada kegiatan budaya ini, masyarakat bersenang-senang dengan melaksanakan lomba di laut. Sebagian warga mengatakan, kata lomban berasal dari kata lelumban atau bersenang-senang.

Pesta Lomban merupakan acara puncak dari pekan syawalan yang diselenggarakan pada tanggal 8 Syawal atau 1 minggu setelah hari raya Idulfitri. Acara ini dinanti oleh masyarakat kota Jepara.

Pesta Lomban sering juga disebut dengan bodo kupat karena seluruh masyarakat Jepara merayakannya dengan menikmati hidangan ketupat disertai dengan opor dan sambal goreng. Masyarakat Jepara menganggap pesta ini menjadi sebuah upacara ritual tahunan yang sakral karena perwujudan rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan kekuatan spiritual yang kuat bagi para nelayan untuk kembali melaut mencari nafkah.