Pada mata pelajaran Kimia kerap ditemui pembahasan mengenai sistem koloid. Dilansir dari Ruangguru.com, sistem koloid bermakna suatu bentuk campuran (sistem dispersi) dua atau lebih zat yang bersifat heterogen, namun memiliki ukuran partikel terdispersi yang cukup besar 1 - 10000 newton metre (nm).
Ukuran partikel tersebut memunculkan efek tyndall. Bersifat heterogen, berarti partikel terdispersi tidak terpengaruh oleh gaya gravitasi atau gaya lain yang dikenakan kepadanya, sehingga tidak terjadi pengendapan. Misalnya, sifat heterogen ini juga dimiliki oleh larutan, tetapi tidak dimiliki oleh campuran biasa (suspensi).
Selain itu, koloid juga bisa dijumpai di mana-mana, seperti pada susu, agar-agar, tinta, sampo, serta awan merupakan contoh-contoh koloid yang dapat dijumpai sehari-hari. Sitoplasma dalam sel juga merupakan sistem koloid. Kimia koloid menjadi kajian tersendiri dalam industri karena kepentingannya.
Sebelum membahas lebih dalam mengenai sistem koloid, akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai efek tyndall. Dikutip dari situs belajar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sumber.belajar.kemdikbud.go.id, menyebutkan bahwa efek tyndall berarti gejala penghamburan berkas sinar (cahaya) oleh partikel-partikel koloid. Hal ini disebabkan karena ukuran molekul koloid yang cukup besar.
Efek Tyndall ditemukan oleh John Tyndall (1820-1893), seorang ahli fisika Inggris. Pada tahun 1869, Tyndall menemukan bahwa apabila suatu berkas cahaya dilewatkan pada sistem koloid, maka berkas cahaya tadi akan tampak, tetapi apabila berkas cahaya yang sama dilewatkan pada larutan sejati, berkas cahaya tadi tidak akan tampak.
Klasifikasi Efek Koloid
Setelah membahas efek koloid, maka selanjutnya akan dijelaskan klasifikasi efek tersebut. Pembagian klasifikasi koloid digolongkan berdasarkan sifat perpindahannya, karena ukuran fase terdispersinya yang kecil dan tampak seperti campuran. Misal, terdapat sebuah koloid yang terdiri atas zat padat yang terdispersi dalam zat cair.
Apabila sistem koloid dilewatkan pada suatu membran ultrafiltrasi, maka zat padat dalam koloid tidak akan dapat menembus membran. Hal ini berbeda dengan ion dan molekul campuran pada umumnya yang larut dan mampu menembus membran.
Selain itu, ukuran pori membran yang lebih kecil daripada dimensi partikel koloid menyebabkan partikel koloid tertahan di membran. Semakin kecil ukuran pori membran, semakin banyak partikel koloid yang tertahan, dan semakin rendah pula konsentrasi zat terdispersi dalam cairan yang tersaring.
Dalam pembagian efek koloid terdiri atas dua, yaitu medium atau fase dan fase terdispersi. Dari medium pendispersi terbagi atas gas, cair dan padat. Kemudian masuk ke fase terdispersi ketiga elemen tersebut memiliki sifat masing-masing.
Pertama, gas tidak memiliki fase koloid yang diketahui. Meskipun demikian, helium dan xenon diketahui tidak dapat bercampur pada beberapa kondisi. Kemudian, gas juga bisa memasuki fase terdispersi menjadi wujud padat dan cair. Pada fase padat menjadi aerosol seperti debu dan asap, adapun cair menjadi kabut dan awan.
Pada fase medium cair dapat mengalami fase terdispersi dalam bentuk buih, emulsi dan sol. Buih akan berubah pada bentuk krim kecantikan atau alat pemadam kebakaran, kemudian emulsi dapat dilihat pada susu, atau mayonaise, dan solo bisa dilihat pada wujud tinta dan sol belerang.
Terakhir di klasifikasi medium padat dapat mengalami fas terdispersi dengan bentuk buih padat, sol padat dan gel atau emulsi padat. Buih padat dapat ditemukan pada batu apung, spons dan styrofoam. Gel atau emulsi bisa disaksikan pada wujud gelatin dan agar-agar. Adapun sol padat bisa dilihat pada intan hitam.
Bila melihat sifat interaksi antara fase terdispersi dan medium pendispersinya, maka koloid juga dapat diklasifikasikan menjadi koloid hidrofilik (partikel koloid tertarik dengan air) dan koloid hidrofobik (partikel koloid tidak tertarik dengan air).
Perbedaan Koloid Liofil dan Liofob
Koloid yang memiliki medium dispersi cair dibedakan atas koloid liofil dan koloid liofob. Klasifikasi ini berdasarkan interaksi antara partikel terdispersi dengan medium pendispersinya. Koloid liofil adalah koloid yang fase terdispersinya suka menarik medium pendispersinya. Itu disebabkan gaya tarik antara partikel-partikel terdispersi dengan medium pendispersinya kuat.
Sedangkan Koloid liofob adalah sistem koloid yang fase terdispersinya tidak suka menarik medium pendispersinya. Bila medium pendispersinya air, maka koloid liofil disebut koloid hidrofil, sedangkan koloid liofob disebut koloid hidrofob.
Contoh koloid hidrofil seperti sabun, detergen, agar-agar, kanji, dan gelatin. Sedangkan contoh koloid hidrofob, seperti sol belerang, sol-sol sulfida, sol Fe(OH)3, sol-sol logam.
Jika diamati lebih jelas, sifat koloid liofil/hidrofil lebih kental daripada koloid liofob/hidrofob. Sol hidrofil tidak akan menggumpal pada penambahan sedikit elektrolit. Zat terdispersi dari sol hidrofil dapat dipisahkan dengan pengendapan atau penguapan. Apabila zat padat tersebut dicampurkan kembali dengan air, maka dapat membentuk kembali sol hidrofil (bersifat reversibel).
Hal sebaliknya akan terjadi, bila sol hidrofob akan terkoagulasi pada penambahan sedikit elektrolit. Sekali zat terdispersi sudah dipisahkan, tidak akan membentuk sol lagi jika dicampur kembali dengan air. Perbedaan tersebut dapat disederhanakan sebagai berikut:
1. Dari sifat daya adsorpi terhadap medium, sol liofil akan kuat dan mudah mengadsorpi, sol liofob memiliki sifat tidak mudah mengadsorpi dari mediumnya.
2. Dari sifat efek tyndall, sol liofilnya nampak kurang jelas. Namun berbeda dengan sol liofob yang sangat jelas bila diamati.
3. Dari sifat viskositas atau kekentalan, sol liofilnya akan lebih besar daripada mediumnya. Kemudian sol liofob memiliki takaran yang hampir sama dengan mediumnya.
4. Pada sifat koagulasi ada sel liofil yang sukar dengan sol liofobnya yang muda terkoagulasi dan kurang stabil.
5. Selain empat sifat di atas dapat, sol liofilnya akan bersifat reversibel, dan sol liofobnya irreversibel, namun hanya terjadi di saat sudah menggumpal atau sukar dikoloidkan.
Kedua sifat hidrofob dan hidrofil sering digunakan dalam proses pencucian pakaian pada penggunaan sabun cuci baju atau deterjen. Apabila kotoran yang menempel pada kain tidak mudah larut dalam air, misalnya lemak dan minyak.
Dengan bantuan sabun atau detergen, maka minyak akan tertarik oleh deterjen. Hal itu disebabkan karenana deterjen larut dalam air, akibatnya minyak dan lemak dapat tertarik dari kain.
Kemampuan deterjen menarik lemak dan minyak disebabkan pada molekul detergen. Ini karena, terdapat ujung-ujung liofil yang larut dalam air dan ujung liofob yang dapat menarik lemak dan minyak. Akibat adanya tarik-menarik tersebut, tegangan permukaan lemak dan minyak dengan kain menjadi turun, sehingga lebih kuat tertarik oleh molekul-molekul air yang mengikat kuat deterjen.