Bekerja jarak jauh, yang tidak perlu selalu berada di kantor, membuat karyawan lebih bahagia. Namun, kurangnya kepercayaan atasan kepada bawahan menjadi tantangan dalam metode bekerja tersebut.
Presiden Cisco kawasan ASEAN Tay Bee Kheng mengatakan perlu waktu lebih lama bagi banyak perusahaan untuk beradaptasi dengan sistem kerja itu. “Bekerja hybrid adalah the new normal. Kita perlu melakukan upaya untuk berubah,” katanya di Kantor Cisco, Singapura, Rabu (18/6).
Bekerja hybrid adalah kombinasi melakukan pekerjaan di kantor (work from office), rumah (work from home), atau di mana saja (work from anywhere). Sistem ini menjadi tren global karena kemunculan pandemi Covid-19 yang memaksa banyak orang membatasi geraknya.
Dalam studi Cisco yang berjudul “Employees Are Ready for Hybrid Work, Are You?” sebanyak 84% pekerja di Indonesia menginginkan kombinasi bekerja di luar dan dalam kantor. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata kawasan Asia Tenggara yang sebesar 72%.
Dengan fleksibilitas tempat kerja, 85% karyawan merasa lebih bahagia. Bahkan, satu dari dua pekerja percaya hasil kerjanya menjadi lebih baik dan produktif.
Bekerja hybrid membuat mereka lebih sejahtera, secara finansial dan fisik. Mereka dapat menghemat biaya perjalanan ke kantor, makan, dan hiburan.
Sebanyak tujuh dari 10 responden menyebut fisik mereka lebih bugar. Lalu, 81% pekerja mengatakan kebiasaan makan mereka membaik. Hampir seluruh responden alias 92% menyebut bekerja remote meningkatkan hubungan dengan keluarga.
Survei pada Januari sampai Maret lalu itu melibatkan 1.050 karyawan di seluruh Indonesia. Mereka berkarya di berbagai sektor dan industri dengan pola kerja fleksibel alias tidak perlu selalu di dalam kantor.
Namun, bekerja hybrid meningkatkan perilaku micromanaging. Sebanyak 63% responden merasakan hal tersebut karena para atasan atau manager kurang percaya kepada bawahannya.
Micromanaging adalah perilaku terlalu mengontrol, mengarahkan, atau mengawasi secara berlebihan. “Para pemimpin perusahaan perlu lebih mendengarkan, membangun kepercayaan, dan memimpin karyawan dengan empati, fleksibilitas, dan keadilan,” kata Direktur Senior Cisco bagian Manusia dan Komunitas untuk kawasan Asia-Pasifik, Jepang, dan Cina, Anupam Trehan.
Untuk membangun kepercayaan tidak dapat dilakukan dalam satu arah. Pemberi kerja dan pekerja harus bekerja bersama untuk melakukannya. “Kurangnya kepercayaan dapat membuat karyawan merasa defensif,” ucapnya.
Perusahaan juga perlu mendorong budaya inklusif di pola kerja hybrid. Dengan begitu, pengaturan kerja pun dapat lebih terintegrasi.
Salah satu caranya dengan memakai teknologi dan infrastruktur yang tepat. “Teknologi adalah pendorong utama pertumbuhan di tempat kerja hybrid dan hal itu perlu didukung oleh keamanan terintegrasi dari ujung ke ujung,” ucap Direktur Keamanan Siber Cisco ASEAN Juan Huat Koo.