Sudamala: Dari Epilog Calonarang, Melihat Bali di Antara Ricuh Jakarta

ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/nym.
Pemeran teater mementaskan Sudamala: Dari Epilog Calonarang pada media preview di Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta, Jumat (9/9/2022).
11/9/2022, 18.40 WIB

Setelah 15 tahun mengadakan sejumlah pentas seni, Titimangsa menggelar pertunjukan outdoor pertamanya bertajuk "Sudamala dari Epilog Calanarang" yang dijadwalkan Jumat (9/9) pukul 20.00 WIB.

Petang itu, setting panggung yang dibangun megah di belakang Gedung Arsip Nasional, Jakarta, telah siap. Sembilan puluh pementas asal Bali telah dirias di belakang panggung. Ratusan tamu undangan khusus dan awak media pun sudah mulai berdatangan setelah lolos dari kemacetan ibu kota.

Namun langit Jakarta seolah meminta mereka untuk lebih sabar menunggu. Hujan deras mengguyur ibu kota sejak sore hari.

Pertunjukan terpaksa ditunda. Beberapa petugas menyampaikan kabar keterlambatan itu pada para penonton yang telah mengantre di luar panggung dan memperkenankan mereka untuk kembali menunggu di dalam lounge. Hingga akhirnya tepat pukul 21.00 WIB, tamu undangan diperkenankan masuk ke arena pertunjukan.

Happy Salma dan Nicholas Saputra sebagai produser pentas "Seni Sudamala: Dari Epilog Calonarang" menyampaikan kalimat pembuka dari pertunjukan tersebut. Mereka menyampaikan apresiasinya pada penonton yang telah sabar menunggu.

Tabuhan kelompok Gamelan Yuganada  yang dipimpin oleh I Wayan Sudirana, membuka kisah legendaris asal Pulau Dewata itu dengan megah.  Pertunjukan yang disutradarai maestro tari Jro Mangku Serongga ini semakin menghanyutkan dengan setting panggung dan tata cahaya yang apik.  Jro Mangku Serongga juga berperan sebagai tokoh utama, Walu Nateng Dirah.

Namun tentu saja kekuatan utama dari pertunjukan tersebut terletak pada peran pementas dalam membawakan cerita, baik melalui tarian, nyanyian, hingga aksi teatrikal. Pertunjukan terlihat berupaya untuk mempertahankan kemurnian pentas seni tradisional Bali,  namun tetap beradaptasi sehingga bisa lebih dinikmati oleh warga ibu kota.

Misalnya saja para pemeran utama yang tetap menggunakan bahasa asli, namun ada pemeran lainnya yang sesekali menerjemahkan dialog atau cerita yang sedang berlangsung dalam bahasa Indonesia. Terdapat juga karakter jenaka yang membuat pertunjukan lebih segar.

Pentas Seni yang digelar selama dua jam di antara hiruk pikuk Jakarta itu pun berhasil memukau penonton. Mereka bertahan di tempat duduknya dengan suka cita meskipun sempat dibasahi rintik hujan di tengah pertunjukan.

Sudamala: Dari Epilog Calonarang

Pentas seni menceritakan kisah Walu Nateng Dirah, seorang perempuan yang memiliki kekuatan dan ilmu yang luar biasa besar serta ditakuti banyak orang. Dia memiliki murid-murid jelita yang kerap dipanggil Sisya.

Walu Nateng Dirah tengah bergembira karena putri satu-satunya, Ratna Diah Manggali, telah menikah dengan Mpu Bahula yang tampan dan merupakan anak seorang Brahmana yaitu Mpu Bharada. Sebelumnya, tidak ada pemuda yang berani meminang Ratna Diah Manggali karena takut akan kesaktian Walu Nateng Dirah.

Namun ternyata, Mpu Bahula memiliki niat terselubung saat menikahi Ratna Diah Manggali. Mpu Bahula ditugaskan ayahnya untuk mengambil pustaka milik Walu Nateng Dirah yang selama ini menjadi sumber kesaktiannya.

Mengetahui pustakanya dicuri, Walu Nateng Dirah murka. Ia memanggil semua muridnya untuk balas dendam. Setelah memohon kekuatan dari Bhatari Durga, Walu Nateng Dirah menyebarkan wabah ke seluruh desa, sehingga banyak warga yang sakit dan meninggal.

Walu Nateng Dirah kemudian bertemu dengan Mpu Bahula yang telah membaca pustaka miliknya. Mereka akhirnya bertarung dan mengadu kesaktiannya.

Menyatu dengan Alam

Ditemui usai pementasan, Happy Salma mengakui bahwa dirinya sempat tegang karena hujan besar melanda sebelum pertunjukan. Namun dia merasa semangat penonton mengalirkan vibrasi yang luar biasa kepada para pemain sehingga bisa menampilkan pentas terbaik.

"Alam merupakan bagian dari pertunjukan. Memang tantangannya besar, kenapa gak digelar di panggung tertutup atau gedung pertunjukan seperti biasa kami pentas? Tapi kami ingin menyatu dengan alam, spirit ini yang ingin kami bawa ke kota besar seperti Jakarta," ujarnya.

Dia mengatakan, pertunjukan ini didukung oleh 90 penari yang langsung datang dari Bali. Sementara total pendukung pementasan yang terlibat sebanyak 200 orang.

Sementara itu, Nicholas Saputra mengatakan bahwa gagasan untuk membuat "Pentas Seni Sudamala: Dari Epilog Calonarang" muncul saat dirinya menghabiskan waktu di Ubud, Bali, selama pandemi. Waktu itu Bali tampak sepi. Tidak ada hiruk pikuk wisatawan yang memenuhi jalan, cafe, dan tempat wisata.

"Dalam momen itu, saya memiliki kesempatan untuk mengalami berbagai peristiwa dan bertemu berbagai seniman di Bali," ujarnya.

Setelah berdiskusi dengan Happy Salma, akhirnya mereka sepakat untuk mengajak penonton melihat kembali Bali melalui pentas ini. "Dari sudut pandang yang bebas dari wajah Bali sebagai destinasi wisata, dari akar yang menjadikan Bali adalah Bali," kata Nicholas.