Kumpulan Puisi W.S Rendra Paling Populer Sepanjang Masa

Katadata
Illustrasi Puisi W.S Rendra
Penulis: Tifani
Editor: Intan
2/12/2022, 13.37 WIB

Dalam dunia sastra, di Indonesia sendiri telah lahir banyak sastrawan terkemuka yang melegenda. Nama-namanya pun telah mendunia dan dapat menginspirasi bagi siapapun yang membaca dan merenungi puisi-puisinya, salah satunya ialah W.S Rendra.

Kumpulan Puisi W.S Rendra yang Populer

Dikutip dari laman Gramedia.com, rendra dikenal sebagai penyair paling kaya di Indonesia. Tak heran, karena ia sangat produktif dalam menciptakan dan memanfaatkan metafora-metafora untuk mendukung citraan dramatik dan visual dalam sajak-sajaknya.

Bahkan, W.S Rendra juga mendapatkan julukan sebagai Si Burung Merak atas penampilannya sebagai penyair yang selalu mempesona penonton. Seorang pencinta, layaknya merak yang merentangkan ekor cantiknya untuk menarik perhatian sang kekasih. Berikut kumpulan puisi W.S Rendra:

1. Temperamen

Batu kali

ditimpa terik matahari.

Betapa panasnya!

Ketika malam kembali membenam

kali pun tenteram.

Bulannya sejuk

dan air bernyanyi

tiada henti.

Jika kita marah

pada kekasih

selamanya.


2. Bunga Gugur

Bunga gugur

di atas nyawa yang gugur

gugurlah semua yang bersamanya

Kekasihku.

Bunga gugur

di atas tempatmu terkubur

gugurlah segala hal ikhwal antara kita.

Baiklah kita ikhlaskan saja

tiada janji ‘kan jumpa di sorga

karena di sorga tiada kita ‘kan perlu asmara.

Asmara cuma lahir di bumi

(di mana segala berujung di tanah mati)

ia mengikuti hidup manusia

dan kalau hidup sendiri telah gugur

gugur pula ia bersama sama.

Ada tertinggal sedikit kenangan

tapi semata tiada lebih dari penipuan

atau semacam pencegah bunuh diri.

Mungkin ada pula kesedihan

itu baginya semacam harga atau kehormatan

yang sebentar akan pula berantakan.

Kekasihku.

Gugur, ya, gugur

semua gugur

hidup, asmara, embun di bunga –

yang kita ambil cuma yang berguna.


Puisi W.S Rendra Tentang Cinta

Selain dua puisi populer diatas, puisi W.S Rendra bertema cinta juga tidak kalah terkenal. Lewat bukunya berjudul Puisi-puisi Cinta yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka, W.S. Rendra membukukan 30 judul puisi cintanya.

Puisi-puisi cinta tersebut ia bagi ke dalam tiga masa, yakni Puber Pertama (1954-1958) yang ia tulis pada masa kuliahnya di Universitas Gadjah Mada. Puber Kedua (1968-1977), yaitu puisi-puisi yang ditulis selepas ia kuliah di New York. Terakhir, Puber Ketiga (1992-2003), berisi puisi-puisi yang ditulisnya dalam masa reformasi 1998.

  • Puber Pertama (1954-1958)

Pada Puber Pertama terdapat 24 puisi, berisi tentang kisah percintaan remaja yang apa adanya. Manis dan romantis sekali. Disajikan berbentuk pendek, ringan, dan sederhana, tetapi sangat menunjukkan perasaan orang yang sedang dilanda cinta.

Puisi-puisi itu berjudul Permintaan, Rambut, Kangen, Baju, Papaya, Sepeda, Rok Hijau, Kami Berdua, Kegemarannya, Tempramen, Pahatan, Kepada Awan Lewat, Tobat, Sepeda Kekasih, Dua Burung, Telah Satu, Optimisme, Pantun, Ayam Jantan, Janganlah Jauh, Kekasih, Angin Jahat, Membisiki Telinga Sendiri, dan Bunga Gugur.

1. Permintaan

Wahai, rembulan yang bundar

jenguklah jendela kekasihku!

Ia tidur sendirian,

hanya berteman hati yang rindu.


2. Rambut

Rambut kekasihku

sangat indah dan panjang.

Katanya,

rambut itu untuk menjerat hatiku.


Kangen

Pohon cemara dari jauh

membayangkan panjang rambutnya

maka aku pun kangen kekasihku.


3. Kami Berdua

Karena sekolah kami belum selesai

kami berdua belum dikawinkan.

Tetapi di dalam jiwa

anak-cucu kami sudah banyak.


4. Kegemarannya

Pacarku gemar

mendengar aku mendongeng.

Dalam mendongeng selalu kusindirkan

bahwa aku sangat mencintainya.

5. Pahatan

Di bawah pohon sawo

di atas bangku panjang

di bawah langit biru

di atas bumi kelabu

–Istirahlah dua buah hati rindu.


6. Dua Burung

Adalah dua burung

bersama membuat sarang.

Kami berdua serupa burung

terbang tanpa sarang.


7. Telah Satu

Gelisahmu adalah gelisahku.

Berjalanlah kita bergandengan

dalam hidup yang nyata,

dan kita cintai.

Lama kita saling bertatap mata

dan makin mengerti

tak lagi bisa dipisahkan.

Engkau adalah peniti

yang telah disematkan.

Aku adalah kapal

yang telah berlabuh dan ditambatkan.

Kita berdua adalah lava

yang tak bisa lagi diuraikan.


8. Optimisme

Cinta kita berdua

adalah istana dari porselen.

Angin telah membawa kedamaian

membelitkan kita dalam pelukan.

Bumi telah memberi kekuatan,

kerna kita telah melangkah

dengan ketegasan.


9. Janganlah Jauh

Janganlah jauh

bagai bulan

hanya bisa dipandang.

Jadilah angin

membelai rambutku.

Dan kita nanti

akan selalu berjamahan.


10. Kekasih

Kekasihku seperti burung murai.

Suaranya merdu.

Matanya kaca.

Hatinya biru.

Kekasihku seperti burung murai.

Bersarang indah di dalam hati.

Muraiku,

hati kita berdua adalah pelangi selusin warna.


11. Bunga Gugur

Bunga gugur

di atas nyawa yang gugur

gugurlah semua yang bersamanya

Kekasihku.

Bunga gugur

di atas tempatmu terkubur

gugurlah segala hal ikhwal antara kita.

Baiklah kita ikhlaskan saja

tiada janji ‘kan jumpa di sorga

karena di sorga tiada kita ‘kan perlu asmara.

Asmara cuma lahir di bumi

(di mana segala berujung di tanah mati)

ia mengikuti hidup manusia

dan kalau hidup sendiri telah gugur

gugur pula ia bersama sama.

Ada tertinggal sedikit kenangan

tapi semata tiada lebih dari penipuan

atau semacam pencegah bunuh diri.

Mungkin ada pula kesedihan

itu baginya semacam harga atau kehormatan

yang sebentar akan pula berantakan.

Kekasihku.

Gugur, ya, gugur

semua gugur

hidup, asmara, embun di bunga –

yang kita ambil cuma yang berguna.

  • Puber Kedua (1968-1977)

Berbeda dengan Puber Pertama yang berisi puisi-puisi cinta pendek. Di Puber Kedua puisi yang disajikan lebih panjang dan kompleks mengenai kehidupan. Puber kedua terdapat 3 puisi yang berjudul Surat Seorang Istri (Siasat, 30 April 1968), Balik Kamu Balik (1972), dan Bukannya di Madrid (1977).

  • Puber Ketiga (1992-2003)

Puber Ketiga, yaitu puisi-puisi cinta yang Rendra tulis pada tahun 1992-2003. Terutama di masa reformasi 1998, hal itu karena Rendra juga semakin terbuka dengan wajah negara dan ketatanegaraan.

Maka dari itu, ketiga puisi terakhir pada Puber Ketiga berisi penyadaran kritis ketatanegaraan dan antropologis kebangsaan Indonesia. Ketiga puisi-puisi cinta itu berjudul Sajak Cinta Ditulis Pada Usia 57, Hai Ma!, dan Barangkali Karena Bulan.

1. Sajak Cinta Ditulis pada Usia 57

Setiap ruang yang tertutup akan retak

karena mengandung waktu yang selalu mengimbangi

Dan akhirnya akan meledak

bila tenaga waktu terus terhadang

Cintaku kepadamu Juwitaku

Ikhlas dan sebenarnya

Ia terjadi sendiri, aku tak tahu kenapa

Aku sekedar menyadari bahwa ternyata ia ada


Cintaku kepadamu Juwitaku

Kemudian meruang dan mewaktu

dalam hidupku yang sekedar insan

Ruang cinta aku berdayakan

tapi waktunya lepas dari jangkauan

Sekarang aku menyadari

usia cinta lebih panjang dari usia percintaan

Khazanah budaya percintaan…

pacaran, perpisahan, perkawinan

tak bisa merumuskan tenaga waktu dari cinta


Dan kini syairku ini

Apakah mungkin merumuskan cintaku kepadamu


Syair bermula dari kata,

dan kata-kata dalam syair juga meruang dan mewaktu

lepas dari kamus, lepas dari sejarah,

lepas dari daya korupsi manusia

Demikianlah maka syairku ini

berani mewakili cintaku kepadamu

Juwitaku

belum pernah aku puas menciumi kamu

Kamu bagaikan buku yang tak pernah tamat aku baca

Kamu adalah lumut di dalam tempurung kepalaku

Kamu tidak sempurna, gampang sakit perut,

gampang sakit kepala dan temperamenmu sering tinggi

Kamu sulit menghadapi diri sendiri

Dan dibalik keanggunan dan keluwesanmu

kamu takut kepada dunia


Juwitaku

Lepas dari kotak-kotak analisa

cintaku kepadamu ternyata ada

Kamu tidak molek, tetapi cantik dan juwita

Jelas tidak immaculata, tetapi menjadi mitos

di dalam kalbuku

Sampai disini aku akhiri renungan cintaku kepadamu

Kalau dituruti toh tak akan ada akhirnya

Dengan ikhlas aku persembahkan kepadamu :

Cintaku kepadamu telah mewaktu

Syair ini juga akan mewaktu

Yang jelas usianya akan lebih panjang

dari usiaku dan usiamu


2. Hai, Ma!

Ma, bukan maut yang menggetarkan hatiku

tetapi hidup yang tidak hidup

karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya

ada malam-malam aku menjalani lorong panjang

tanpa tujuan kemana-mana

hawa dingin masuk kebadanku yang hampa

padahal angin tidak ada

bintang-bintang menjadi kunang-kunang

yang lebih menekankan kehadiran kegelapan

tidak ada pikiran, tidak ada perasaan, tidak ada suatu apa.

Hidup memang fana, Ma

tetapi keadaan tak berdaya membuat diriku tidak ada

kadang-kadang aku merasa terbuang ke belantara

dijauhi Ayah Bunda dan ditolak para tetangga

atau aku terlantar di pasar

aku bicara tetapi orang-orang tidak mendengar

mereka merobek-robek buku dan menertawakan cita-cita

aku marah, aku takut, aku gemetar

namun gagal menyusun bahasa.

Hidup memang fana, Ma

itu gampang aku terima

tetapi duduk memeluk lutut sendirian di savana

membuat hidupku tak ada harganya

kadang-kadang aku merasa ditarik-tarik orang kesana kemari

mulut berbusa sekadar karena tertawa

hidup cemar oleh basa basi

dan orang-orang mengisi waktu dengan pertengkaran edan

yang tanpa persoalan

atau percintaan tanpa asmara

dan sanggama yang tidak selesai

Hidup memang fana tentu saja, Ma

tetapi akrobat pemikiran dan kepalsuan yang dikelola

mengacaukan isi perutku lalu

mendorong aku menjeri-jerit

sambil tak tahu kenapa

rasanya setelah mati berulang kali.

Tak ada lagi yang mengagetkan dalam hidup ini.

Tetapi Ma, setiap kali menyadari adanya kamu di dalam hidupku ini

aku merasa jalannya arus darah di sekujur tubuhku.

Kelenjar-kelenjarku bekerja

sukmaku bernyanyi, dunia hadir

cicak di tembok berbunyi

tukang kebun kedengaran berbicara pada putranya

hidup menjadi nyata, fitrahku kembali.

Mengingat kamu Ma, adalah mengingat kewajiban sehari-hari

kesederhanaan bahasa prosa, keindahan isi puisi

kita selalu asyik bertukar pikiran ya Ma?

masing-masing pihak punya cita-cita

masing-masing pihak punya kewajiban yang nyata

Hai Ma!

apakah kamu ingat

aku peluk kamu di atas perahu

ketika perutmu sakit dan aku tenangkan kamu

dengan ciuman-ciuman di lehermu?

Masyaallah… Aku selalu kesengsem pada bau kulitmu

Ingatkah waktu itu aku berkata

kiamat boleh tiba, hidupku penuh makna

Hehehe waahh.. Aku memang tidak rugi ketemu kamu di hidup ini

dan apabila aku menulis sajak

aku juga merasa bahwa kemaren dan esok

adalah hari ini.

Bencana dan keberuntungan sama saja.

Langit di luar, langit di badan bersatu dalam jiwa.

Sudah ya, Ma…