Harga minyak mentah dunia jenis Brent menguat di akhir perdagangan tahun 2019. Penguatan dipicu oleh ketegangan yang terjadi di kawasan Timur Tengah beberapa hari lalu.
Berdasarkan data Bloomberg, harga minyak Brent naik 0,41% % ke level US$ 68,44 per barel. Sedangkan minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) turun 0,11% di level US$ 61,61 per barel.
Amerika Serikat menggelar serangan udara pada hari Minggu (29/12) terhadap kelompok milisi Kataib Hezbollah. Sedangkan demonstran di Irak pada hari Sabtu (28/12) sempat menutup paksa ladang minyak Nassiriya meski operasi bisa dilanjutkan pada hari Senin (30/12).
(Baca: Kesepakatan Dagang AS-Tiongkok Makin Dekat, Harga Minyak Brent Naik )
Tak hanya itu, perusahaan minyak asal Libya yakni NOC sedang mempertimbangkan penutupan pelabuhan Zawiya di barat negara tersebut. Alasannya, karena adanya bom di wilayah itu membuat mereka harus mengevakuasi staf dari kilang.
“Tapi kami tetap melihat (harga) fundamental minyak berisiko alami penurunan,” kata Harry Tchilinguirian, ahli strategi minyak global di BNP Paribas seperti dikutip dari Reuters, Selasa (31/12).
Di sisi lain, harga minyak juga dipicu oleh kesepakatan perdagangan Fase pertama AS-Tiongkok yang kemungkinan akan ditandatangani pada pekan depan. Penasihat perdagangan Gedung Putih Peter Navarro mengatakan perjanjian siap disepakati Washington dan Beijing.
“Optimisme perdagangan membuat permintaan aset berisiko seperti minyak meningkat,” kata Jim Ritterbusch, Presiden konsultan perdagangan komoditas Ritterbusch and Associates.
(Baca: BKPM: Perusahaan Korea Berencana Investasi Rp 47 T di Kilang Dumai)
Analis juga beranggapan pasokan minyak yang melimpah akan jadi hambatan meroketnya harga. Padahal organisasi negara pengekspor minyak dan sekutunya telah sepakat memangkas produksi.
“Kami tidak yakin ini akan cukup untuk mencegah (banjir) persediaan global yang besar," kata Tchilinguirian.