Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menegaskan tidak mau didikte oleh siapa pun dalam proses revisi Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apalagi, oleh sekelompok orang yang menyuarakan penolakan dengan mengatasnamakan rakyat.
Anggota Baleg DPR Firman Soebagyo menekankan DPR memiliki kewenangan untuk merevisi UU KPK. “DPR tidak boleh didikte oleh siapapun,” kata dia di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (5/9).
Ia menjelaskan, masyarakat dapat memberikan masukan kepada DPR, dengan syarat. “Asal positif, konstruktif, dan proporsional,” ujarnya.
(Baca: DPR Targetkan RUU KPK Rampung Sebelum Oktober)
Rapat paripurna DPR yang digelar pada Kamis ini menyetujui revisi UU KPK menjadi usulan parlemen. Tak ada penolakan dari seluruh anggota dewan yang hadir.
Terdapat beberapa poin revisi yang substansial. Pertama, kedudukan KPK nantinya berada pada cabang kekuasaan eksekutif pemerintahan yang tugas dan kewenangannya bersifat independen. Adapun, pegawai KPK nantinya berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN) yang tundang pada peraturan perundang-undangan terkait.
Kedua, KPK dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dapat melakukan penyadapan namun dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas. Ketiga, KPK harus bersinergi dengan penegak hukum lainnya sesuai hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.
Keempat, tugas KPK dalam pencegahan akan ditingkatkan. Alhasil, setiap instansi, kementerian, dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebelum dan sesudah masa jabatan.
Kelima, KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diawasi oleh Dewan Pengawas yang berjumlah lima orang. Sedangkan Dewan Pengawas KPK akan dibantu oleh organ pelaksana pengawas.
Keenam, KPK nantinya berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun. Penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas dan diumumkan kepada publik.