Harga minyak dunia anjlok di awal pekan ini setelah Amerika Serikat (AS) memberlakukan tarif baru terhadap berbagai barang impor dari Tiongkok pada hari Minggu (1/9). Kebijakan AS tersebut meningkatkan kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi global dan permintaan minyak mentah di masa mendatang.
Mengutip Reuters, harga minyak mentah Brent turun 42 sen, atau 0,7%, pada US$ 58,83 per barel. Sedangkan harga minyak AS (West Texas Intermediate) turun 27 sen, atau 0,5%, pada US$ 54,83 per barel.
AS memang mulai memberlakukan tarif 15% untuk berbagai barang impor Tiongkok termasuk alas kaki, jam tangan pintar, dan televisi layar datar. Presiden AS Donald Trump dalam cuitannya di Twitter menyatakan, tujuan dari pemberlakukan tarif impor tersebut untuk mengurangi ketergantungan AS pada Tiongkok. Dia pun mendesak perusahaan-perusahaan Amerika untuk mencari pemasok alternatif di luar Tiongkok.
(Baca: Perang Dagang: Saling Balas Tarif AS vs Tiongkok)
Tiongkok pun membalas dengan menerapkan bea masuk baru sebesar 5% terhadap minyak mentah dari AS. Ini pertama kalinya minyak mentah menjadi target dari perang dagang kedua negara tersebut.
Akibatnya, perang dagang kedua negara semakin memanas. Biarpun kedua belah pihak masih akan melakukan pertermuan dan pembicaraan di akhir bulan ini.
"Pemberlakuan tarif perdagangan tidak bisa dihindari untuk pasar minyak, jadi sementara ketidakpastian perdagangan tetap ada, akan sulit bagi minyak untuk mengabaikan kekhawatiran tentang ancaman terhadap permintaan global," kata ahli strategi pasar APAC di AxiTrader Stephen Innes dilansir dari Reuters pada Senin (2/9).
(Baca: Dampak Perang Dagang, Google Pindahkan Pabrik Ponsel dari Tiongkok )
Di sisi lain, produksi minyak OPEC pada Agustus juga naik karena pasokan yang lebih tinggi dari Irak dan Nigeria. Dampak kenaikan produksi minyak tersebut melebihi pembatasan produksi oleh negara eksportir minyak utama seperti Arab Saudi dan kerugian yang disebabkan oleh sanksi AS terhadap Iran.
Di samping itu, ekspor Korea Selatan juga turut anjlok pada Agustus selama sembilan bulan berturut-turut. Hal ini karena permintaan yang lamban dari pembeli terbesarnya, Tiongkok, dan harga chip komputer yang tertekan secara global.
Data ekonomi yang suram mengaburkan prospek ekonomi negara terbesar keempat di Asia tersebut. Ditambah perselisihan perdagangan dengan Jepang yang muncul sebagai risiko baru di atas perang perdagangan AS-Tiongkok yang berkepanjangan.
(Baca: Pasar Pantau Diskusi AS-Tiongkok, Harga Emas Antam Naik Rp 5 Ribu/Gram)