Kasus Baiq Nuril dan Pemberian Amnesti di Indonesia

ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI
Terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Transaksi dan Informasi Elektronik (UU ITE), Baiq Nuril Maknun menyeka air mata saat menjawab pertanyaan wartawan pada Forum Legislasi bertema "Baiq Nuril Ajukan Amnesti , DPR Setuju?" di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (10/7/2019). Baiq Nuril berharap DPR dapat mempertimbangkan keadilan untuknya.
Penulis: Abdul Azis Said
12/7/2019, 09.16 WIB

Pengajuan amnesti untuk Baiq Nuril menemui babak baru. Salah satu anggota tim kuasa hukum Baiq Nuril, Erasmus Napitupulu, melaporkan bahwa Kementerian Hukum dan HAM (KemenkumHAM) telah menerbitkan surat rekomendasi bagi Presiden Joko Widodo untuk memberikan amnesti bagi perempuan asal Nusa Tenggara Barat tersebut, Kamis (11/7).

Kasus Baiq Nuril bermula pada 2012 ketika ia mendapatkan pelecehan verbal di tempat kerjanya, SMA 7 Mataram, oleh sang kepala sekolah. Baiq Nuril adalah staf honorer di bagian tata usaha di SMAN 7 Mataram. Sang kepala sekolah mulai melecehkannya dengan menceritakan hubungan badannya dengan salah seorang wanita yang juga dikenalnya.

Paham bahwa dirinya dilecehkan, ia berinisiatif merekam percakapannya. Belakangan rekaman tersebut menyebar dan dipermasalahkan oleh sang kepala sekolah. Baiq Nuril dinilai melanggar pasal 27 ayat (1) juncto pasal 45 ayat 1 UU No. 1 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dengan vonis penjara 6 bulan dan denda 500 juta. 

Pada 3 Januari yang lalu, Baiq Nuril bersama tim kuasa hukumnya mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan yang menyatakan dirinya bersalah. Namun, belakangan diketahui PK tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).

Kasus ini menjadi perhatian masyarakat luas karena Nuril yang merupakan korban pelecehan justru terjerat hukum. Masyarakat pun mendorong agar Jokowi terjun langsung menyelesaikan masalah ini dengan memberikan amnesti bagi Baiq Nuril. Hal ini disampaikan oleh lebih dari 250 ribu orang yang menandatangani petisi dukungan untuk Baiq Nuril melalui situs Change.org.

Dalam kunjungan kerjanya di Lamongan, Jawa Timur pada 19 Oktober 2018, Jokowi menyatakan akan membantu Baiq Nuril mendapatkan keadilan untuk kasusnya. Presiden bisa memberikan grasi jika PK Nuril ditolak.

“Seandainya nanti PK-nya masih belum mendapatkan keadilan, bisa mengajukan grasi ke presiden. Memang tahapannya seperti itu. Kalau sudah mengajukan grasi ke presiden, nah itu bagian saya,” kata Jokowi seperti dikutip dari Setkab.go.id.

(Baca: Baiq Nuril Menangis, Berharap Jokowi Kabulkan Amnesti)

Memahami Amnesti

Dalam "Kamus Hukum" yang ditulis Marwan dan Jimmy, defisini amnesti adalah pernyataan umum yang diterbitkan melalui undang-undang untuk mencabut semua akibat dari pemidanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana. 

Amnesti merupakan kewenangan presiden. Menurut ahli hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar, pemberian amnesti akan berdampak pada perubahan status hukum seseorang. Misalnya seseorang yang semula dinyatakan bersalah, setelah mendapatkan amnesti statusnya akan menjadi tidak bersalah. 

“Amnesti itu kewenangan presiden sebagai kepala negara untuk meniadakan akibat hukuman dari suatu perbuatan seseorang, baik yang sudah maupun yang belum dijatuhi hukuman,” kata Abdul Fickar, seperti dikutip Kompas.com.
Amnesti bukanlah satu-satunya kewenangan yang dimiliki presiden di ranah yudikatif. Setidaknya ada tiga hak presiden lainnya yang juga cukup sering kita dengar, antara lain wewenang presiden untuk menerbitkan grasi, abolisi, dan rehabilitasi.

Keempat hak tersebut tertuang dalam pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang Undang Dasar 1945. Pemberian amnesti maupun grasi tidak bisa dilakukan atas keputusan presiden semata. Presiden harus meminta pertimbangan dari Mahkamah Agung (MA) untuk memberikan grasi dan rehabilitasi. Sementara untuk pemberian amnesti dan abolisi, presiden harus meminta pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam kasus Baiq Nuril, nantinya Jokowi perlu mendengar masukan dari DPR sebelum memutuskan memberikan amnesti.

(Baca: Jokowi Persilakan Baiq Nuril Ajukan Amnesti Setelah MA Tolak PK)

Berbeda dengan amnesti, pemberian abolisi dalam UU Darurat Republik Indonesia No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisibertujuan untuk meniadakan penuntutan hukum pada orang yang terpidana. Sementara itu, grasi dan rehabilitasi masing-masing di atur dalam peraturan yang terpisah.

UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi menyebutkan, grasi diberikan presiden untuk memberi pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah diputuskan oleh pengadilan. Adapun rehabilitasi dijelaskan dalam pasal 1 angka 23 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Rehabilitasi merupakan hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang. Rehabilitasi juga bisa dikeluarkan jika terjadi kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam UU Hukum Acara Pidana.

(Baca: Baiq Nuril Mau Ajukan Amnesti, Kejaksaan Tak Buru-buru Eksekusi)

Skema Pemberian Amnesti di Indonesia

Baiq Nuril bukan orang pertama yang mengajukan amnesti. Pada 2016, pemerintah sepakat memberikan amnesti kepada mantan pimpinan kelompok bersenjata di Aceh Timur, yakni Nurdin Ismail alias Din Minimi dan kelompoknya.

Din Minimi terlibat dalam sejumlah tindak penyerangan kepada aparat TNI di wilayah Aceh. Namun, sejak 28 Desember 2015 ia menyerahkan diri setelah berdialog dengan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Letjen TNI (Purn) Sutiyoso, sebagaimana dikutip dari Antara. Pemberian amnesti dan abolisi kepada Din Minimi dan 70 orang pengikutnya kelompoknya merupakan bagian dari pendekatan kultural pemerintah untuk meredam aksi dari kelompok pemberontak.  

Sejarah Indonesia juga mencatat amnesti pernah diberikan di masa pemerintahan Presiden RI ke-1 Soekarno. Pada 28 November 1959, Soekarno menerbitkan amnesti dan abolisi untuk orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Keputusan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 303 tahun 1959.

Di masa Orde Baru, Presiden RI ke-2 Soeharto juga pernah menerbitkan keputusan Presiden No. 63 tahun 1977, yang berisi pemberian amnesti umum dan abolisi kepada pengikut Gerakan Fretelin di Timor Timur. Soeharto menetapkan keputusan tersebut pada 6 Desember 1977.

Penulis : Abdul Azis Said (magang)