Zona Ekonomi Eksklusif, Ketegangan di Laut Indonesia-Vietnam

ANTARA FOTO/JESSICA HELENA WUYSANG
Kapal patroli TNI AL melintasi belasan kapal nelayan Vietnam sesaat sebelum ditenggelamkan di Pulau Datuk, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, Sabtu (4/5/2019). Kementerian Kelautan dan Perikanan menenggelamkan 13 dari 51 kapal nelayan asing asal Vietnam yang ditangkap karena mencuri ikan di Perairan Indonesia.
25/6/2019, 13.10 WIB

Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc bersepakat untuk menyelesaikan negosiasi batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) kedua negara. Pembicaraan bilateral tersebut dilakukan di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perserikatan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) ke-34 yang berlangsung di Bangkok, Thailand pada Sabtu (22/6).

Jokowi kepada PM Vietnam mengatakan baik Indonesia maupun Vietnam kerap mengalami masalah perbatasan laut yang terjadi di ZEE masing-masing negara. Oleh sebab itu, Jokowi menginginkan perundingan batas ZEE ini dapat segera diselesaikan kedua negara. "Saya berharap Yang Mulia (PM Vietnam) dapat menginstruksikan kepada tim teknis Vietnam untuk dapat menyelesaikan perundingan batas ZEE," kata Jokowi hari Sabtu (22/6) dilansir dari Antara.

Adapun perundingan serupa dengan tetangga lain seperti Filipina telah dirampungkan kedua negara. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan akan ada pertukaran dokumen ratifikasi saat kunjungan menteri luar negeri Filipina ke Indonesia, Agustus mendatang. "Jadi masalah batas maritim ZEE dengan Filipina sudah selesai,” kata Retno, Minggu (23/6).

(Baca: Negosiasi Rampung, RI - Filipina Siap Bertukar Dokumen)

Persoalan ZEE memang kerap melanda Indonesia dengan tetangganya seperti Vietnam dan Filipina. Konsep ini pertama kali dikenalkan secara resmi pada Konvensi Laut 1982. Sebelumnya, beberapa negara telah menggunakan batas 200 mil sebagai basis penetapan kedaulatan lautnya. Dilansir dari FAO, Negara yang sebelumnya telah menggunakan panjang batas itu adalah Chili dan Peru pada tahun 1947.

 Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif menjelaskan definisi ZEE adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia dengan batas 200 mil laut dan diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Zona ini meliputi dasar laut, tanah di bawah laut, serta air di permukaan laut. 

Di dalam garis batas 200 mil tersebut, Indonesia memiliki hak, yurisdiksi, hingga kewajiban. Hak yang dimaksud dalam Pasal 4 adalah eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan Sumber Daya Alam hayati dan non hayati, hingga kegiatan lainnya terkait eksplorasi dan eksploitasi kawasan tersebut. "Seperti pembangkit (listrik) tenaga air, arus, dan angin," demikian bunyi Ayat 1 Huruf A Pasal 5. 

(Baca: Pemerintah Daftarkan 2.590 Pulau Baru Indonesia ke PBB)

Kemudian hal-hal terkait yurisdiksi yang berhubungan dengan pembangunan pulau buatan, instalasi serta bangunan lainnya. Lalu penelitian ilmiah serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut masuk di dalam yurisdiksi Indonesia di dalam ZEE. Hak dan kewajiban lain mengacu Konvensi Hukum Laut yang berlaku. "Di ZEE, kebebasan pelayaran dan penerbangan sipil serta pemasangan kabel dan pipa bawah laut diakui sesuai hukum internasional," penjelasan Ayat 3 Pasal 1. 

Pelanggaran 

Pelanggaran laut yang dilakukan kapal ikan asal Vietnam memang menjadi langganan penindakan aparat Indonesia selama ini. Tercatat dari Oktober 2014 hingga Mei 2019 ada 294 atau hampir 57 persen kapal yang dimusnahkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan berasal dari Vietnam. Terakhir, kapal perang Indonesia, yakni KRI Tjiptadi ditabrak oleh kepala pengawas perikanan Vietnam di perairan Natuna pada April lalu. 

Sebenarnya dalam UU tersebut, pemerintah memperbolehkan pihak asing beroperasi di wilayah ZEE Indonesia. Namun hal tersebut harus berdasarkan izin dan persyaratan yang diberikan oleh pemerintah RI. Dalam Pasal 5 Ayat 3, tangkapan ikan diperbolehkan apabila potensi jumlah tangkapan melebihi kemampuan pihak Indonesia untuk memanfaatkannya.

(Baca: KKP Tangkap 17 Kapal Ikan Ilegal Malaysia Sejak Awal 2019)

Sedangkan UU Perikanan Nomor 45 Tahun 2009 telah mengatur setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang beroperasi di ZEE Indonesia wajib memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) yang diberikan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga menetapkan standar jumlah Anak Buah Kapal (ABK) kapal penangkap ikan asing yang beroperasi di ZEE. "Wajib menggunakan ABK berkewarganegaraan Indonesia paling sedikit 70 persen," demikian penjelasan Pasal 35A UU 45/2009.

Dalam UU 5 Tahun 1983, pelanggaran yang dilakukan atas ZEE RI akan diganjar dengan pidana denda setinggi-tingginya Rp 225 juta. Sedangkan dalam UU Perikanan, kapal penangkap ikan asing yang tidak membawa surat izin di ZEE akan dihukum lebih berat lagi, yakni penjara enam tahun dan denda Rp 20 miliar.

Sengketa ZEE

Sengketa antara Indonesia dengan Vietnam bukan satu-satunya konflik batas ZEE antara dua negara. Norwegia dan Rusia sempat memperebutkan ZEE di wilayah Laut Barents sebelum keduanya bersepakat akan batas laut pada tahun 2020. Konflik ZEE antara Indonesia dengan tetangganya juga merupakan konflik laut yang lebih besar yakni perebutan Laut Cina Selatan.

Konflik batas Laut Cina Selatan diawali ketika tahun 2013 Tiongkok membangun di Kepulauan Spratly dan Paracel yang diklaim Tiongkok bagian dari Nine Dash Line atau peta garis demarkasi mereka. Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia, serta Taiwan lantas memprotes karena bertabrakan dengan ZEE mereka. 

(Baca: Tiongkok Menghadang, Susi Meradang)

Wilayah konflik membentang dari Teluk Tonkin di Vietnam, Kepulauan Spratly, perairan Filipina, hingga Natuna di Kepulauan Riau. Jokowi bahkan pada tahun 2016 sempat menggelar rapat di perairan Natuna, tepatnya di KRI Imam Bonjol. "Presiden ingin menunjukkan Natuna bagian dari NKRI," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung saat itu.

Hal lainnya adalah pelanggaran laut yang dilakukan kapal ikan asal Vietnam memang menjadi langganan penindakan aparat Indonesia selama ini. Tercatat dari Oktober 2014 hingga Mei 2019 ada 294 atau hampir 57 persen dari kapal yang dimusnahkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan berasal dari Vietnam. Terakhir, kapal perang RI yakni KRI Tjiptadi ditabrak oleh kepala pengawas perikanan Vietnam di perairan Natuna pada April lalu.