Ahli yang dihadirkan Tim Kuasa Hukum Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Edward Omar Sharif Hiraiej menilai pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) baru dapat dibuktikan jika terjadi pada lebih dari separuh jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dengan demikian, kecurangan paling minimal harus ditemukan pada 415 ribu dari 830 ribu TPS seluruh Indonesia.
Persyaratan separuh dari jumlah TPS untuk memenuhi unsur masif dalam pelanggaran TSM. Masif berarti kecurangan yang terjadi menimbulkan dampak luas terhadap hasil Pemilu 2019.
"Kalau sangat luas itu berarti bila pakai metode kuantitatif berarti 50% plus satu," kata Edward di gedung MK, Jakarta, Jumat (21/6).
(Baca: Ahli Jokowi-Ma’ruf Nilai Tak Tepat Selesaikan Pelanggaran TSM di MK)
Selain itu, rantai komando dalam kecurangan Pemilu juga harus dapat dibuktikan. Guru Besar Fakultas Hukum UGM itu juga menilai rencana yang matang dan rapi untuk membuat kecurangan Pemilu harus dapat ditemukan.
Ini merujuk pada unsur terstruktur dan sistematis dalam pelanggaran TSM. Menurut Edward, berbagai unsur tersebut harus ditemukan karena kecurangan tidak mungkin serta merta terjadi.
Edward mengatakan, kecurangan terjadi karena adanya niat. "Kecurangan itu pasti by intention, tidak mungkin kalau suatu kealpaan, sehingga memang niat formil itu harus kemudian dibuktikan," kata Edward.
Lebih lanjut, Edward menilai berbagai unsur pelanggaran TSM itu harus dibuktikan saling berkorelasi. Sebab, unsur terstruktur, sistematis, dan masif merupakan sebuah kesatuan dalam sebuah pelanggaran TSM.
(Baca: Ahli Usul SBY Jadi Saksi Tim Prabowo soal Ketidaknetralan Aparat)
Ada pun, Edward menyebut pembuktian pelanggaran TSM tidak bisa dilakukan secara serampangan. Pembuktian harus dilakukan secara detil. Hal itu, kata Edward, dapat dilakukan dengan menanyakan para pemilih di tiap-tiap TPS.
"Karena itu pembuktiannya adalah postfactum, betul-betul antara motivasi, kemudian antara perbuatan dan akibat sama-sama terwujud," kata Edward.