Ani Yudhoyono, 'Bunga Flamboyan' yang Mengiringi Karier SBY

ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (keempat kanan) bersiap mengikuti upacara militer pelepasan jenazah almarhumah Ani Yudhoyono di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Minggu (2/6/2019).
Penulis: Dwi Hadya Jayani
7/6/2019, 09.00 WIB

Melesat Lebih Tinggi: Banting Setir SBY ke Ranah Politik

Tidak ada yang menduga SBY yang jiwanya melebur dalam bidang militer akan menorehkan sejarah di ranah politik. Pada era Gus Dur, SBY dan Ani dibuat heran dengan ditunjuknya SBY sebagai Menteri Pertambangan dan Energi saat karier militernya sedang moncer. Hal ini tergambar dari dipanggilnya SBY oleh Jenderal Wiranto ke rumahnya di Bambu Apus untuk mengabarkan rencana pengangkatan SBY menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Kesedihannya menjadi-jadi hingga ayah SBY, Pak Soekotjo memberikan wejangan. “Jika Presiden memberi tugas untuk negara, itu adalah titah yang tidak bisa ditolak," ujarnya. Pengabdian untuk bangsa dan negara tidak harus melalui TNI.

Petuah tersebut membuatnya mampu menerima keputusan Presiden Gus Dur dengan besar hati dan rasa syukur. Ani pun berusaha mengimbangi SBY yang berlari cepat untuk mempelajari dunia baru yang berkaitan dengan pertambangan dan energi. Pengalamannya sebagai pemimpin istri prajurit digunakannya untuk menjadi penasihat Dharma Wanita di lingkungan Departemen Pertambangan dan Energi.

SBY dan Ani belajar dengan cepat. SBY selanjutnya ditunjuk menjadi Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam). Namun, keluarga Ani harus menerima kenyataan pahit ketika SBY dicopot dari jabatannya. Pasalnya, SBY dianggap tidak kompeten membuat hubungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Gus Dur menjadi harmonis.

Namun, kharisma SBY tidak dapat dilupakan begitu saja. Ia diminta untuk maju sebagai calon wakil presiden (wapres) untuk Megawati Soekarnoputri usai Gus Dur lengser dari tampuk kepemimpinannya. Meski SBY kalah suara dalam voting yang dilakukan MPR pada 24 dan 25 Juli 2001, ia dipercaya menjadi Menko Polkam oleh Megawati.

Selama menjabat sebagai Menko Polkam, gonjang-ganjing pun terjadi dalam hubungan SBY dan Mega. Mega mulai tidak menunjukkan ketidakpercayaan kepada SBY dengan tidak mengundangnya di acara-acara penting negara.

Kabarnya SBY dianggap mengkhianati Mega dan sebaliknya. Mega khawatir pada SBY yang akan maju menjadi calon presiden (capres). Ani yang tidak tahan dengan media massa yang terus mengobral keburukan SBY, akhirnya menyatakan keberatan hingga harus berinisiatif menghentikan kekacauan ini. Akhirnya, SBY memilih mundur dari jabatannya sebagai Menko Polkam.

Mendirikan Partai Demokrat

Pasca kejadian tersebut, SBY dan Ani memanaskan mesin Partai Demokrat yang telah dibangun pada hari ulang tahun SBY, yaitu 9 September 2004. Ani mendampingi dalam mendesain partainya, yaitu menemukan warna biru yang menyimbolkan perdamaian sebagaimana simbol warna dari PBB. Tanpa keraguan, SBY dan JK mantap maju sebagai capres dan cawapres di Pemilu 2004.

Perjuangan ini dibalas dengan kepercayaan dari masyarakat, SBY-JK memenangkan kontestasi pemilu langsung pertama kali setelah reformasi. Tentunya kemenangan ini membuat Ani menghadapi peran baru sebagai Ibu Negara.

Ani sadar bahwa menjadi Ibu Negara berarti menjadi ibu bagi masyarakat. Oleh sebab itu, Ani memberikan akses nomor teleponnya untuk mendekatkan diri kepada masyarakat. Segala pengaduan, keluhan, dan lainnya ditanggapi dengan bijak sesuai porsinya.

Selain itu, Ani juga menjadi pelengkap SBY dalam urusan negara. Ani berinisiatif mengumpulkan istri-istri menteri di Kabinet Indonesia Bersatu dan terbentuklah Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB). Kontribusi SIKIB sangat positif sebagai gerakan untuk membantu masyarakat. Salah satunya ikut terjun dalam meringankan penderitaan korban bencana tsunami di Aceh pada 2004.

(Baca: Budi Waseso: Meninggalnya Ani Yudhoyono Kehilangan Besar Bagi Bangsa)

SBY Demokrat (Katadata)

SBY kembali mengemban amanah menjadi orang nomor satu di NKRI bersama Boediono pada 2009. Ani tetap setia mendampingi SBY untuk terus menguatkan, terutama saat SBY diterpa kasus-kasus yang menyudutkan kinerja pemerintahannya. Ani merasakan suka-duka sebagai Ibu Negara. Ia dihormati sekaligus merasa kesepian karena tidak dapat bergaul dan curhat sembarangan.

Di penghujung kepemimpinan SBY, sempat terlontar pertanyaan kesediaan Ani untuk menggantikan terkasihnya menjadi presiden layaknya Hillary Clinton. Ani menanggapi pertanyaan ini dengan penolakan. Bagi Ani, hal tersebut jauh dari bayangan karena tujuan hidupnya adalah mendampingi SBY.

Apabila masa pengabdian SBY sebagai presiden telah selesai, kedudukan paling terhormat bagi Ani adalah menjadi Nyonya SBY. Begitulah cita-cita Ani, sang flamboyan yang sederhana. Ia hanya berharap menjadi istri yang terus menyokong suaminya, mengantarkan Agus dan Ibas menjadi suami yang baik untuk keluarganya, menyayangi menantu, dan mengasuh cucu-cucunya.

“Dengan kemampuan yang luar biasa, sentuhan tangan Ibu telah membesarkan saya," kata AHY mengungkapkan kesannya pada ibunya. Ia adalah ibu yang lembut dan penuh kasih, guru pengasih, pelindung yang setia, dan teladan yang tidak habisnya memberi inspirasi.

(Baca: Ingin Menata Hati, SBY Akan Beraktivitas di Cikeas Sepekan Ini)

Halaman:
Reporter: Dwi Hadya Jayani