Kepedulian masyarakat terhadap isu lingkungan terus meningkat. Produk berbahan kayu atau besi sebagai substitusi plastik dengan cepat menarik perhatian. Peluang ini yang dikemudian menginsiprasi Wood & Soul, industri kerajinan yang menggunakan kayu sebagai bahan baku peralatan dapur.
Malang melintang dalam dunia bisnis sejak 2001, Suharto - pemilik bisnis Wood & Soul - mulai mencermati isu lingkungan sejak satu dekade terakhir. Dia menjelaskan, animo masyarakat untuk peduli lingkungan membuat bisnis Wood & Soul berkembang cepat.
"Kami ingin menekankan arah green concept, sekaligus membuat produk kami memiliki desain berkualitas tinggi," kata Suharto kepada Katadata.co.id, Senin (11/3).
(Baca: Pameran Furnitur Internasional Targetkan Transaksi Rp 4,2 Triliun)
Dalam International Indonesia Furniture Expo 2019, Wood & Soul menjadi salah satu gerai yang paling banyak dikunjungi orang. Tak aneh, ketika pelaku usaha bersaing untuk jualan barang furnitur berukuran besar, Suharto malah memamerkan sendok, garpu, mangkuk, piring, gelas yang semuanya berbahan baku kayu.
Bahkan, pengunjung pameran bisa membeli produk secara satuan dengan harga sangat terjangkau. Untuk produk paling murah berupa sedotan kayu, Suharto membanderol harganya sebesar Rp 1.200 per buah. Sedangkan paling mahal, dia menyebut berupa jam dinding dapur atau penyangga lilin yang dibanderol Rp 250.000 per unit.
Suharto menjelaskan, produk Wood & Soul sangat dicari oleh pembeli dari Eropa dan Amerika Serikat. Saat ini, 90% hasil produksi Wood & Soul telah dipasarkan ke luar negeri dan 10% sisanya untuk pasar dalam negeri.
Jika permintaan sedang stabil, per bulan dia bisa mengekspor produknya ini hingga dua kontainer ke berbagai negara. Untuk memenuhi permintaan ekspor, dia mensyaratkan minimal pemesanan sebesar US$ 8 ribu atau sekitar Rp 115 juta.
Produk yang dijual secara satuan dalam pameran ini, merupakan hasil sortir produk ekspor. Sehingga, Wood & Soul masih bisa menjual peralatan dapur dari kayu dengan harga yang miring.
Menurutnya, penggunaan kayu dari pohon yang sudah tua dan tidak tumbuh lagi, asal wilayah Jawa Timur pada beberapa produknya kerap kali menjadi daya tarik yang memikat pembeli. "Permintaan biasanya datang dari hotel, villa, resort. Tempat yang ingin mencitrakan isu lingkungan," ujar Suharto.
(Baca: Naik 4%, Ekspor Furnitur Indonesia Sepanjang 2018 Capai Rp 24 Triliun)
Apalagi, kayu yang sudah tua bisa menghasilkan produk dengan warna yang lebih matang . Selain itu, Wood & Soul memberikan kesempatan masyarakat sekitar hutan untuk belajar tidak melakukan penebangan liar dengan menjadi off-taker produk dari pohon yang sudah tak produktif.
Suharto mengungkapkan, Wood & Soul saat ini diproduksi di sebuah pabrik kecil di Jawa Timur dengan 50 orang pekerja. Kerajinan tersebebut dikerjakan secara manual agar lebih konsisten menghasilkan produk yag berkualitas. Ukuran peralatan, ketebalan produk, serta ketelitian hasil akhir jadi keunggulan Wood & Soul.
Menurut Suharto, ketertarikan masyarakat terhadap isu lingkungan juga mengubah gaya pemasaran Wood & Soul. Dulu, dia hanya bergantung pada showroom di Bali yang banyak dikunjungi turis mancanegara.
Namun, media sosial dan digitalisasi membuat Wood & Soul berkembang, selain juga memperkuatnya dengan mengikuti pameran furnitur internasional. "Sejak lima tahun terakhir kami ikut pameran, lonjakan permintaan meningkat sangat drastis," kata Suharto.