Sejumlah lembaga swadaya masyarakat menilai masyarakat berhak memilih dan mengkampanyekan golput (golongan putih) dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pilpres 2019. Golput dinilai tidak melanggar aturan perundangan yang ada.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga mengatakan, dalam Pasal 515 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pemilih golput tidak dikenai pidana. Sanksi hanya dikenakan bagi mereka yang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain kepada pemilih agar tidak menggunakan hak pilihnya. "Ini yang harus diberikan penekanan," kata Dirga saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (23/1).
Dia juga berharap, tidak ada pemilih yang mengkampanyekan golput kemudian dikriminalisasi penegak hukum. Apalagi jika pemilih golput tersebut tidak menghalang-halangi hak suara pemilih lainnya. "Mereka (menawarkan) proyeksi, bukan janji fisik," kata Dirga.
Ketua Bidang Jaringan dan Kampanye YLBHI Arip Yogiawan mengatakan, banyaknya masalah dalam sistem politik RI seperti ketergantungan calon presiden (capres) dan calon legislatif (caleg) terhadap partai politik membuat angka golput semakin tinggi. Ini lantaran masyarakat seolah dipaksa memilih calon yang bukan menjadi keinginan mereka sendiri. "Atas dasar itu, golput tinggi angkanya," kata dia.
Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan, gerakan golput ini bukan gerakan untuk menggembosi calon presiden tertentu. Penyebabnya berbagai macam, mulai dari masyarakat yang apolitis, pertimbangan politik lantaran tidak ada calon dianggap baik, hingga hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik saat ini.
"Misal karena capres independen tidak bisa ikut, ambang batas presidential treshold, hingga konstituen yang tidak bisa me-recall anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tidak reformis," katanya.
Selain itu, Muhammad Afif dari LBH Masyarakat mengatakan, golput masih merupakan partisipasi politik masyarakat dalam rangka mendidik penguasa dalam merepresentasikan masyarakatnya. Oleh sebab itu, dia meminta tidak ada ancaman serius bagi masyarakat yang mengambil langkah ini. "Seperti eksploitasi pemilik suara untuk dipakai demi kekuasaan," kata dia.
(Baca: Fenomena Nurhadi-Aldo dan Potensi Meningkatnya Golput di Pilpres 2019)
Sebelumnya, Indikator Politik Indonesia memprediksi jumlah masyarakat yang berpotensi golput mencapai 20% dari total calon pemilih. Angka ini berasal dari pemilih yang telah memutuskan golput ditambah masyarakat yang belum menentukan pilihan (undecided voters) dan masyarakat yang belum menentukan pilihan (swing voters).
Survei Indikator mencatat jumlah pemilih yang memutuskan golput mencapai 1,1% sedangkan undecided voters mencapai 9,2%. Angka ini juga diperkirakan bertambah dari swing voters sekitar 14%. "Potensinya minimal ya 20-an persen pemilih golput, minimal kalau berkaca dari pengalaman sebelumnya," kata Direktur Eksekutif Indikator Burhanuddin Muhtadi di kantornya, Jakarta, Selasa (8/1).
Angka golput berpotensi meningkat karena masih ada masyarakat yang menilai pemilu tidak terlalu punya dampak ke kehidupan mereka. Banyak dari mereka pun bersifat apatis sehingga lebih memilih memanfaatkan waktu pemungutan suara untuk berlibur ketimbang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).