Penerapan Masterplan Pengurangan Risiko Tsunami Terhenti Sejak 2015

ANTARA FOTO/Ardiansyah
Sebuah kapal nelayan yang tersapu tsunami Selat Sunda dan menimpa rumah warga di Desa Way Muli, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan, Lampung, Minggu (23/12/2018).
26/12/2018, 23.32 WIB

Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) mengusulkan agar pemerintah melanjutkan pelaksanaan masterplan alias rencana induk pengurangan risiko bencana tsunami. Masterplan sempat diimplementasikan pada 2013-2014 lalu, namun kemudian terhenti.

Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan implementasi masterplan tersebut terhenti di 2015 karena anggaran kebencanaan tidak masuk dalam prioritas pemerintah. "Mungkin ada beberapa pertimbangan-pertimbangan, karena secara umum kan anggaran juga terbatas," kata dia di kantornya, Jakarta, Rabu (26/12).

Menurut dia, implementasi masterplan tersebut penting bagi Indonesia yang rawan tsunami. "Kami mengusulkan lanjutkan masterplan pengurangan risiko bencana tsunami. Berapa anggarannya? Ya ditentukan nanti, kami hitung," kata dia.

(Baca juga: Setelah Tsunami Selat Sunda, BMKG Minta Masyarakat Jauhi Pantai)

Adapun masterplan tersebut di antaranya mencakup program pengadaan alat mitigasi tsunami. Saat ini, peralatan mitigasi tsunami di Indonesia sangat minim. Penyebabnya, alat yang ada kerap rusak imbas aksi vandalisme, selain karena anggaran dari pemerintah kurang mencukupi.

Sutopo menjelaskan, Indonesia tidak memiliki satu pun buoy alias alat pendeteksi tsunami, karena rusak sejak 2012. Indonesia sempat memiliki 22 unit buoy tsunami pada 2008. Rinciannya, delapan unit dibangun Indonesia, 10 unit dari Jerman, satu unit dari Malaysia, dan dua unit dari Amerika Serikat (AS).

Alhasil, Indonesia hanya mengandalkan lima buoy milik negara lain di sekitar wilayah Indonesia. Persoalannya, lokasi buoy tersebut cukup jauh. Satu unit buoy berada di barat Aceh milik India, satu unit di Laut Andaman milik Thailand, dua unit di Selatan Sumba milik Australia, satu unit di utara Papua milik AS.

"Itu biasanya kami bisa menerima (deteksi dari buoy milik negara lain) setelah tsunami menerjang wilayah Indonesia," kata dia.

(Baca juga: BNPB: Tak Punya Alat Pendeteksi Tsunami, RI Andalkan Milik Negara Lain)

Peralatan mitigasi tsunami lainnya juga jauh di bawah kebutuhan. Sutopo mencontohkan, Indonesia hanya memiliki 52 dari kebutuhan seribu sirine tsunami. Selain itu, Indonesia juga baru memiliki 261 alat digital video broadcast (DVB) dari kebutuhan sebanyak 553 unit.

Sarana dan prasarana evakuasi, seperti rambu-rambu, jalur evakuasi dan shelter (alias tempat perlindungan) juga masih kurang. Di Banten saja, hanya ada dua shelter yang berada di Wanasalam dan Labuan. Padahal shelter idealnya dibangun setiap radius dua kilometer. "Ini butuhnya banyak," ujarnya.

Sutopo menjelaskan, masterplan juga penting untuk membangun kultur masyarakat terkait mitigasi bencana. Sebab, masterplan memiliki program penguatan kapasitas kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana. Hal itu dilakukan melalui pembangunan Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops), desa tangguh, pendidikan kebencanaan, dan pembangunan kemandirian industri kebencanaan.