LIPI: 57% Masyarakat Ingin Pemimpin Seagama dari RT hingga Presiden

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Massa melakukan aksi unjuk rasa di luar ruang persidangan kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di depan Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (3/1).
7/12/2018, 20.51 WIB

"Politik hari ini tidak bisa lepas dari agama apalagi kita lihat sejarah nasionalisme Indonesia juga berbalut sejarah," kata dia. Oleh sebab itu, tantangan utamanya adalah bagaimana mengakomodasi agama ini ke dalam ruang publik.

(Baca: Jokowi: Intoleransi Sering Terjadi karena Pengaruh Politik)

Pengamat politik President University Mohamad AS Hikam menjelaskan, meningkatnya intoleransi terjadi lantaran beberapa hal yang berkembang secara global. Pertama, adanya ketimpangan ekonomi besar yang menunculkan aktor-aktor penggerak identitas bermunculan. "Di Indonesia ini kecenderungan identitasnya primordial dan sektarian," kata Hikam.

Kedua, arus informasi yang amat terbuka pasca reformasi membawa konsekuensi beragam, seperti masuknya fanatisme. Hal ini diperparah dengan kegagalan kelembagaan politik usai tumbangnya Soeharto yang membawa masyarakat mencari panutan baru. Salah satu contohnya, ketidakpercayaan masyarakat kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan partai politik.

"Itu menjelaskan mengapa FPI jadi kekuatan baru dan idiom agama digunakan sebagai ideologi," ujar pria yang pernah menjabat sebagai menteri di era pemerintahan Abdurrahman Wahid ini.

Oleh sebab itu, salah satu solusinya adalah dengan mewujudkan Pancasila sebagai identitas dari kebangsaan Indonesia. Dia melihat ada semacam kekosongan kredo nasional setelah 20 tahun reformasi berjalan yang akhirnya membuat masyarakat mencari identitas alternatif. "Baru sekarang saja ada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)," kata Hikam.

(Baca: Pro-Kontra Komitmen PSI Menolak Perda Agama)

Halaman:
Reporter: Ameidyo Daud Nasution